SELAMAT DATANG Tak ada sebuah perjuangan yang berujung dengan sia-sia بسم الله الرحمن الرحيم

Minggu, 25 Desember 2011

RSBI ; Mencetak Pendidikan Korupsi ???

Pada era global saat ini, semua Negara berkompetisi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Tingkat pendidikan penduduk sering dijadikan indikator kemajuan suatu bangsa. Secara nyata pendidikan Indonesia masih rendah dibanding Negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Dahulu, Indonesia terkenal dengan kualitas pendidikan yang baik. Guru-guru yang berprestasi di bumi pertiwi ini, sering di kirim ke Negara lain khususnya Malaysia. Namun sekarang ini keadaan itu sudah berbalik, Indonesia tidak lagi mengirim guru ke Malaysia melainkan mengirimkan TKW dan TKI sebagai buruh dan pembantu di Negara tetangga. Selain menambah devisa Negara, pemerintah secara tidak langsung mengurangi masalah Negara dengan mengurangi tingkat pengangguran. yang paling menyedihkan adalah anak-anak bangsa lebih memilih sekolah ke Negara tetangga dan masyarakat Indonesia lebih mempercayakan pengobatan ke Negara tetangga di banding Negara sendiri. Namun dibalik kegagalan kualitas pendidikan di Indonesia, ada salah satu prestasi yang dibilang terus mengalami peningkatan yakni tingkat korupsi. Jumlah koruptor di Indonesia setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan dibanding dengan prestasi yang membanggakan Indonesia. Jika kualitas pendidikan di Indonesia masuk ke dalam urutan 109 dari 174 negara di dunia (Data UNISCO tahun 2000), sedangkan masalah korupsi yang melanda Indonesia termasuk yang paling parah di dunia. Sebagaimana diungkapkan oleh berbagai survei yang dilakukan Transparansi International (TI), posisi Indonesia dalam peringkat negara terkorup di dunia senantiasa berada di urutan teratas. Posisi Indonesia dalam urutan negara terkorup di dunia pada tahun 2000 misalnya, adalah juara kedua di Asia, dan juara kelima di dunia setelah Nigeria, Somalia, Azerbaijan dan Ukrania. Secara nyata, yang melakukan korupsi di Indonesia bukanlah orang-orang yang tidak berpendidikan melinkan orang-orang yang mengemban jabatan tinggi dengan status pendidikan yang tidak rendah. Mengapa semakin tingginya pendidikan justru menjadikannya sebagai sarang korupsi ? Pendidikan merupakan faktor kebutuhan yang paling utama dalam kehidupan. Biaya pendidikan sekarang ini tidak murah lagi karena dilihat dari penghasilan rakyat Indonesia setiap harinya. Mahalnya biaya pendidikan tidak hanya pendidikan di perguruan tinggi melainkan juga biaya pendidikan di sekolah dasar sampai sekolah menengah keatas walaupun sekarang ini sekolah sudah mendapat Bantuan Operasional Sekolah (BOS) semuanya masih belum mencukupi biaya pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu. Pendidikan di Indonesia masih meupakan investasi yang mahal sehingga diperlukan perencanaan keuangan serta disiapkan dana pendidikan sejak dini. Setiap keluarga harus memiliki perencanaan terhadap keluarganya sehingga dengan adanya perencanaan keuangan sejak awal maka pendidikan yang diberikan pada anak akan terus sehingga anak tidak akan putus sekolah. Tanggung jawab orang tua sangatlah berat karena harus membiayai anak sejak dia lahir sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Lihat saja pada jenis pendidikan dengan “kategori” RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) ataupun SBI (Sekolah Berstandar Internasional). Untuk bea masuk saja sudah harus merogoh kocek jutaan rupiah meskipun hanya di tingkatan sekolah dasar. Bisa dibayangkan berapa besar lagi beaya yang diperlukan jika sudah di tingkatan menengah pertama sampai perguruan tinggi. Padahal jika kemudian kita telusuri lebih jauh, standar internasional tersebut mengacu pada standar yang mana, karena disetiap negara sudah tentu memiliki sistem pendidikan tersendiri. selain itu baik RSBI ataupun SBI jika standarnya sudah tidak jelas dengan output yang juga masih kabur-apakah yang diutamakan akhlak (yang menjadi penyebab korupsi)ataupun hanya sekedar pemenuhan kebutuhan negara kapitalis- sendiripun masih dipertnyakan. Mahalnya biaya pendidikan sekarang ini dan banyaknya masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan sehingga tidak begitu peduli atau memperhatikan pentingnya pendidikan bagi sang buah hatinya, sehingga membuat anak putus sekolah, anak tersebut hanya mendapat pendidikan sampai pada jenjang sekolah menengah pertama artau sekolah menengah keatas. Padahal pemerintah ingin menuntaskan wajib belajar sembilan tahun. Jika masalah ini tidak mendapat perhatian maka program tersebut tidak akan terealisasi. Banyak anak yang putus sekolah karena orng tua tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya. Memang antara pendidikan yang mahal bukanlah satu-satunya indicator korupsi. Akantetapi hal tersebut sangat berkaitan sekali. Terutama sekali jika melihat reliatas masyarakat kita sekarang ini yang sudah terjebak pada dunia pencitraan. Masyarakat tak lagi memandang secara substansi, melainkan masyarakat kita meliahat secara formalis. Sehingga dengan membudayanya dunia citra ini. Masyarakat akan terdorong untuk juga menjaga image atau citra yang nantinya bisa menjadikan salah satu penilaian bahwa mereka layak untuk diberi label kaum “borjuis”. Label borjuis inilah yang kemudian menjadi penyebab mereka akan berusaha dengan cara apapun termasuk dengan korupsi itu agar mendapatkan label borju. Dengan label inilah mereka akan mengeluarkan banyak uang hanya untuk mengejar sesuatu yang semu. Usaha inilah yang akan mendorong seseorang untuk berbuat kolusi hingga kemudian menjadikan ia berkorupsi. Hubungan anatara korupsi dengan dunia pendidikan yang tinggi tersebut sangat terbukti sekali Sampai saat ini saja masih banyak masalah korupsi yang tidak dapat diselesaikan oleh Negara, seperti masalah Bank century dan berbagai macam kasus pajak yang merugikan Negara hingga kasus suap yang melibatkan partai penguasa. Padahal dapak korupsi dapat menghacurkan suatu Negara. Antara lain Dampak Korupsi adalah Korupsi yang telah merajalela tersebut mempunyai dampak yang merugikan dan merusak tatanan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Dampak langsung yang paling terasa adalah kerugian negara secara materialal dan immaterial, korupsi juga membawa dampak pada penciptaan ekonomi biaya tinggi. Karena korupsi menyebabkan inefisiensi dan pemborosan dalam ekonomi. sekali lagi, bukankah korupsi itu juga diakibatkan oleh adanya pola pendidikan yang salah... Hubungan Korupsi Dengan Kualitas Pendidikan Jika Indonesia bersih dari korupsi yang terjadi adalah Indoneia memiliki pendidikan terbaik di dunia. Karena saat ini pendidikan terbaik di Dunia Bukan dimiliki Harvard, bukan Amerika, juga bukan Inggris, apalagi Indonesia melainkan Finlandia, negeri yang paling tidak korupsi di muka bumi ini. Hebatnya, Finlandia tak cuma jagoan mendidik anak-anak “normal,” tapi juga unggul dalam pendidikan bagi anak-anak yang lemah mental. Pendek kata, Finlandia berhasil membuat seluruh anak didiknya cerdas tak peduli yang normal atau yang lemah mental. Penerapan sistem pendidikan ini sudah dilakukan oleh Malaysia, dan mereka sukses meningkatkan mutu pendidikan negaranya. Sedangkan Indonesia pejabat Negara banyak mengkorupsikan triliunan uang Negara, yang kedapatan hanya sebahagian kecil saja. Yang paling mengherankan para koruptor yang korupsi memiliki latar pendidikan yang tinggi, dan paling memalukan banyak koruptor lari ke Singapura sehingga Indonesia rugi dua kali. Pertama, rugi materi dan kedua, merusak nama baik bangsa di Negara tetangga. Jika Indonesia bersih dari korupsi kemajuan pendidikan akan terjamin. Karena setiap pembiayaan mengenai pendidikan secara keseluhan akan dapat terlaksana dengan baik dan masyarakat miskin akan mendapat haknya dan Indonesia akan sejahtera. Dan siyogianya 1 persen dari jumlah warga negara adalah jenius, maka “seharusnya” ada 2,2 juta orang berbakat di Indonesia dapat dibiayai oleh negara. Masalahnya, bagaimana menemukan mereka, mengasah mereka, memberi mereka kesempatan, supaya mereka bisa mengembangkan potensinya. Indonesia bagus di fisika dan matematika. Indonesia juga jagoan badminton. Ada juga Crhisjon yang jago tinju. Ada juga anak pedagang rokok yang meraih juara dunia catur. Ada juga yang bisa menemukan ion motion control di elektrolit. Patut disayangkan mengapa pemerintah masih kurang peduli terhadap generasi bangsa yang kompeten itu. Dan pemerintah masih sibuk dengan pekerjaan rumahnya yang tidak pernah bersih dan menyianyiakan uang negara. Bukankah apa yang dikatakan oleh Lindon B Johson; Our National Problem Come From Education, akan benar adanya. benar karena jika pendidikan sudah dari awalnya hanya untuk sekedar labelisasi maka hasilnyapun juga labelisasi Upaya Penanggulangan Korupsi Upaya penanggulangan atau pemberantasan terhadap korupsi dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu pencegahan dan penindakan. Upaya pencegahan adalah mencakup keseluruhan usaha yang dilakukan untuk mencegah terjadinya korupsi, baik dilakukan melalui pendidikan maupun pengawasan. Sedangkan upaya penindakan adalah usaha yang dilakukan untuk menindak pelaku korupsi sesuai ketentuan hukum yang berlaku serta menyelamatkan keuangan negara. Dalam menindak para pelaku korupsi, yang harus diutamakan adalah agar seluruh uang yang dikorupsi harus dikembalikan serta ditambah dengan hukuman denda serta hukuman kurungan atau penjarah yang seberat-beratnya. Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini masih cenderung kearah penindakan dan masih kurang pada upaya pencegahan melalui upaya meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya aparatur negara untuk berperilaku anti korupsi dan malu melakukan korupsi. Akibatnya dukungan masyarakat secara luas sangat kurang. Untuk itu, maka upaya pemberantasan korupsi hendaknya lebih banyak diarahkan pada upaya meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya kalangan pegawai negeri sipil, organisasi kepemudaan dan keagamaan untuk berperilaku anti korupsi dan malu melakukan korupsi. Sehingga dapat tercipta masyarakat (aparatur negara) yang bebas korupsi. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui penataran atau penyuluhan, seminar, loka karya dan sebagainya. Untuk itu maka dukungan pemerintah dan semua pihak sangat diperlukan. KESIMPULAN Korupsi merupakan suatu bentuk patologi sosial yang bertentangan dengan etika moral, hukum dan agama. Korupsi dapat membawa dampak negatif yang cukup luas dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Dampak yang dapat ditimbulkan dari korupsi tersebut antara lain adalah: (1) merugikan keuangan negara, (2) menciptakan ekonomi biaya tinggi, (3) merendahkan martabat manusia, bangsa dan negara, (4) menghambat pelaksanaan pembangunan, (5) menimbulkan kemiskinan, (6) merusak tatanan sosial, dan (7) melemahkan birokrasi pemerintah. Jika Indonesia bebas dari korupsi maka kualitas pendidikan pasti akan maju, karena pembiayaan dan subsidi pemerintah terhadap pendidikan akan lancar dan masyarakat serta anak-anak yang berbakat di Indonesia akan di jamin kehidupan dan pendidikannya, khususnya masyarakat yang kurang mampu.

Senin, 30 Mei 2011

PANDANGAN KH ABDURRAHMAN WAHID TENTANG ISLAM DAN NEGARA PANCASILA

Oleh : Saefur Rochmat
(tenaga pengajar pada FIS Universitas Negeri Yogyakarta dan dapat dihubungan melalui rochmat@yahoo.com)

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berusaha menempatkan Islam dalam konteks modern di Indonesia dalam wajah politik yang tidak monolitik, yang tidak menghadapkan strategi perjuangan umat dengan strategi pembangunan nasional. Artikel ini berusaha meneliti pemikirannya tentang hubungan Islam dengan Negara Pancasila.
Peneriman NU terhadap asas tunggal Pancasila pada tahun 1984 dibawah kepemimpinan duet KH Ahmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid merupakan kelanjutan historis dalam sejarah NU. Pada tahun 1936 NU menjustifikasi Hindia Belanda sebagai dar al-Islam (negeri muslim) karena adanya Lembaga Kepenghuluan (Het Kantoor voor Inlandsche zaken), suatu lembaga yang secara khusus mengurus kepentingan umat Islam, dan umat Islam memiliki kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya sebagai condition sine qua non bagi esksistensi negara. Islam melihat negara sangat penting untuk menghindari terjadinya anarkhi, tetapi Islam tidak mempunyai konsep kenegaraan.
Karena itu umat Islam tidak bersikeras mendirikan negara Islam. Ada tiga alasan penerimaan umat Islam pada Negara Pancasila, yaitu alasan pluralitas bangsa Indonesia, justifikasi fiqih NU, dan tradisi keilmuan NU.

Kata kunci: Islam, Negara Pancasila, Hindia Belanda, kebebasan, anarkhi, pluralisme,
fiqih NU, dan tradisi keilmuan NU.


Mengetahui para pemikiran Islam baik dari dalam negeri maupun luar negeri sangat penting karena mayoritas (87%) penduduk Indonesia beragama Islam. Memang banyak ilmuwan sosial politik meramalkan peranan agama akan mengalami penurunan sejalan dengan laju modernisasi dan bahkan mereka memandang agama menjadi faktor negatif dalam modernisasi. Akan tetapi di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam kita masih melihat peranan agama yang begitu dominan di dalam kehidupan.
Wajah yang terlihat jelas dari peranan Islam bagi pemeluknya adalah dalam bidang politik. Banyak ilmuwan dan awam baik Muslim maupun non-Muslim melihat image Islam sebagai agama yang berkelindan dengan politik. Memang sejarah awal perkembangan Islam menunjukkan wajah politik, dimana umat Islam harus berperang melawan kekuatan politik lainnya. Untung berpihak pada umat Islam dan Islam berhasil menyebarkan dari Spanyol di barat sampai India di sebelah timur hanya dua abad mengikuti kelahirannya.
Sekarang pun masih cukup banyak umat Islam yang ingin menampilkan wajah politik Islam yang monoton untuk menghadapi kekuatan politik lainnya, terutama Barat yang diasumsikan sebagai pendukung kekuatan Kristen dan Yahudi. Mereka berkeyakinan kalau Yahudi dan Kristen tidak mau mengakui keberadaan umat Islam sebagaimana terjadi di awal sejarah Islam dan ditegaskan dalam Al-Qur’an (QS 2 Al-Baqarah: 120). Sebaliknya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meyakini kalau ayat itu disampaikan khusus kepada Nabi Muhammad SAW di Madinah ketika menghadapi kelompok-kelompok kaum Yahudi dan Nasrani yang sikapnya militan. Masalah pokok dari pengkhianatan kaum Yahudi terhadap Piagam Madinah, karenanya, bukan bermotivasi keagamaan, namun lebih karena persoalan kompetisi politik; dan Nabi melawan mereka tidak didorong oleh kepercayaan agama tetapi oleh pertimbangan-pertimbangan politis.
Gus Dur tidak ingin menampilkan politik Islam yang monoton dan melihat Piagam Madinah sebagai justifikasi bagi manifestasi politik Islam yang inklusif, yaitu politik Islam yang menekankan pada nilai-nilai substansial Islam yang universal seperti keadilan, persamaan, kebebasan, dan syura’ (demokrasi). Gus Dur sangat kritis terhadap bentuk formal dan simbol-simbol politik Islam yang seringkali diperankan mengingkari substansi dari nilai-nilai Islam tersebut. Dia berkeyakinan nilai-nilai universal Islam selaras dengan nilai-nilai Hak-hak Asami Manusia (HAM) dalam Deklarasi Hak-Hak Asami Manusia tahun 1948 sehingga dia melihat Barat bukan sebagai musuh tetapi sebagai mitra. Namun dia perlu mengembangkan konsep HAM dari lingkungan umat Islam sendiri untuk menangkal proses sekulerisasi seperti yang terjadi dalam peradaban Barat.
Artikel ini ingin lebih jauh menganalisa pemikiran Gus Dur untuk menempatkan Islam dalam konteks modern, terutama berkaitan dengan konsep negara Pancasila di Indonesia. Sejauh mana pemikiran Gus Dur mendapatkan justifikasi dalam pemikiran fiqih (hukum Islam) NU. Artikel dibagi beberapa sub-bab yang menjelaskan Islam tidak punya konsep negara, pentingnya negara untuk mencegah anarkhi, alasan-alasan subordinasi Islam pada negara Pancasila, dan hubungan Islam dengan Pancasila.

TIDAK ADA KONSEP NEGARA ISLAM
Interaksi Islam dan politik mengalami pasang surut. Islam bermula dari suatu komunitas umat di bawah bimbingan Nabi Muhammad SAW. Kemudian umat Islam berhasil memperoleh kekuasaan politik dengan membentuk suatu negara dalam bimbingan langsung Nabi. Nabi tidak menyebutnya sebagai negara Islam, sedangkan dasar pendirian negara adalah Konstitusi Madinah, suatu piagam yang dibuat oleh Nabi Muhammad dan disaksikan oleh berbagai kelompok dalam suatu masyarakat yang plural, sebagai rambu-rambu untuk mengatur suatu masyarakat yang plural itu dan mereka secara bersama-sama akan mengahadapi segala ancaman dari luar. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat maka negara dipimpin oleh seorang khalifah (pengganti Nabi) dan kemudian umat Islam menyebut sistem pemerintahan kekhalifahan. Umat Islam masih memiliki satu negara yang utuh pada masa Khulafaur Rasyidin, namun pada masa berikutnya kekhalifahan tidak lagi tunggal. Bahkan sistem kekhalifahan dihapus pada tahun 1924 ketika kekhalifahan Turki Utsmani diganti menjadi negara modern. Dan sejak itu berdirilah beberapa negara bangsa di daerah yang mayoritas penduduknya umat Islam. Beberapa diantaranya mengatasnamakan sebagai negara Islam walaupun masing-masing memiliki bentuk negara maupun pemerintahan yang berbeda dan mungkin malah saling bertentangan.
Umat Islam di suatu daerah tertentu memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk bersama-sama merumuskan bentuk sistem sosial yang tepat bagi penerapan nilai-nilai Islam. Demikian juga dengan bentuk negara hendaknya dimusyawarahkan oleh sekelompok umat Islam yang berdomisili di suatu daerah tertentu. Dalam kasus minoritas umat Islam di Ethiopia pada zaman Nabi Muhammad SAW tidak dibebani dan memang tidak mungkin bagi mereka mendirikan negara Islam (2000b: 56). Bentuk negara Islam yang ada merupakan hasil ijtihad yang mencari legitimasi pada Islam, dan Gus Dur tidak menentang keberadaan negara yang mengatasnamakan Islam.
Di Indonesia, umat Islam tidak mendirikan negara Islam tetapi negara bangsa yang berdasarkan pada ideologi Pancasila. Negara Pancasila bukan negara agama dan bukan negara sekuler karena Pancasila mengakui adanya Tuhan Yang Esa, disamping adanya suatu kementerian/lembaga yang mengurusi kepentingan umat Islam dalam menjalankan ibadahnya. Keberadaan negara Pancasila dilegitimasi oleh hukum fiqih NU dan diakui eksistensinya selama negara masih diikuti pola perilaku formal negara yang tidak bertentangan dengan hukum fiqh. Kasus-kasus penyimpangan dari “pola umum” perilaku formal negara itu tidaklah sampai kepada penolakan bentuk kenegaraan dan proses pemerintahan yang sudah ada.
Penerimaan bentuk final negara Pancasila didasarkan pada keyakinan Gus Dur kalau Islam tidak punya konsep negara Islam. Dia mengikuti argumen Ali Abdel Raziq dalam bukunya Al-Islam wa Qawa’id al-Sulthanan (Islam dan Sendi-Sendi Kekuasaan). Pertama, dalam Al-Qur’an tidak pernah ada doktrin. Kedua, perilaku Nabi Muhammad sendiri tidak memperlihatkan watak politis, melainkan moral. Ketiga, Nabi tidak pernah merumuskan secara definitif mekanisme penggantian jabatannya (Wahid, 2000a: 1). Tidak adanya konsep negara dalam Islam karena sesuai dengan pendekatan universalitas agama Islam itu sendiri.
1. Maka Bijaksana Allah yang tidak menentukan (secara qath’i) sistem kenegaraan. Karena Maha Mengetahui-Nya, bentuk negara di jagad raya ini bervariasi; sesuai dengan letak geografi dan demografi masing-masing kawasan.
2. Tugas para Nabi dan Rasul tidak untuk membentuk negara, tetapi membentuk kemanusiaan manusia; memberi pribadi manusia dan membentuk watak manusia. Hadits: “Antum a’lamu bi umuri dunyaakum (Kamu lebih tahu urusan duniamu)”. Meskipun demikian, dasar-dasar pengelolaan negara –jika diinginkan stabil- telah diletakkan sedemikian rupa, dengan signifikan. Dua sisi kecenderungan sebuah negara disiratkan dengan firman Allah: “Wa syaawirhum fil amr” (QS Al-Imran 159), bagi negara monarkhi dan “Wa amruhum syuura bainahum”, bagi negara demokrasi (Bisri, 2000: viii-ix).
Memang sangat ideal bila kita dapat mendirikan negara Islam. Namun caranya harus secara evolusioner agar tidak terjadi kekerasan atas nama Islam. Pemikiran para teoritisi politik terkenal dalam Islam tidaklah mencari pola idealisasi bentuk kenegaraan. Ibn Abi Ruba’i, Al-Ghazali, Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun dan Al-Mawardi jelas-jelas menempuh perbaikan keadaan secara gradual, dengan mencoba mencari masukan dari fiqh untuk menyempurnakan bentuk-bentuk negara yang telah ada. Hanyalah Al-Farabi yang mencoba menyusun sebuah utopia berjudul “Negara utama” (Al-Madinah Al-Fadhilah).
Ada tiga jenis negara menurut mazhab Syafi’i, mazhab Islam yang dominan di Indonesia: dar Islam (negara Islam), dar Harb (negara perang), dan dar Sulf (negara damai). Menurut paham ini, negara Islam harus dipertahankan dari serangan luar, karena ia merupakan perwujudan normatif dan fungsional dari cita-cita kenegaraan dalam Islam, dengan ciri utama berlakunya syariah Islam sebagai undang-undang negara. Negara perang atau anti-Islam, harus diperangi, karena berbahaya bagi kelangsungan hidup negara Islam, dan dengan demikian akan mengakibatkan dihilangkannya pemberlakuan syariah Islam dari undang-undang negara. Negara damai harus dipertahankan, karena syariah (dalam bentuk hukum agama/fiqih atau etika masyarakat) masih dilaksanakan oleh kaum muslimin di dalamnya, walaupun tidak melalui legislasi dalam bentuk undang-undang negara (Wahid, 1989: 10).
Berdasarkan kategori tersebut maka Indonesia bukan termasuk negara Islam, karena syariah tidak dijadikan sebagai dasar negara. Indonesia dapat dikategorikan sebagai dar Sulf (negara damai) sehingga harus dipertahankan karena syariah (dalam bentuk hukum agama/fiqih atau etika masyarakat) masih dilaksanakan oleh kaum muslimin di dalamnya, walaupun tidak melalui legislasi dalam bentuk undang-undang negara. Pada zaman Nabi Muhammad SAW dikenal juga negara damai seperti negara Habsyi (Ethiopia) yang melindungi minoritas umat Islam di dalamnya. Umat Islam di Ethiopia ini tidak dibebani dengan kewajiban mendirikan negara Islam, paling tidak mereka mengikuti hukum agama yang termaktub dalam fiqih. Dari uraian ini kita tahu bahwa jangkauan syariah dapat bersifat sangat luas mencakup semua aspek kehidupan manusia dalam bidang ibadah maupun bidang kehidupan duniawi (muammallah), disamping penerapan hudud law. Sementara jangkauan syariah di Malaysia, suatu negara yang berdasarkan Islam, tidak mencakup hudud law dan pemberlakuannya ditunda. Sementara jangkauan syariah yang berlaku di Indonesia identik dengan yang dijalankan minoritas umat Islam di Ethiopia pada zaman Nabi Muhammad SAW.

SUBORDINASI ISLAM TERHADAP NEGARA PANCASILA
Menurut Gus Dur pada garis besarnya, ada tiga macam responsi dalam hubungan antara Islam dengan negara di Indonesia, yaitu responsi integratif, responsi fakultatif, dan responsi konfrontatif. Dalam responsi integratif, Islam sama sekali dihilangkan kedudukan formalnya dan umat Islam tidak menghubungkan ajaran agama dengan ursan negara. Hubungan antara kehidupannya dengan negara ditentukan oleh pola hidup kemasyarakatan yang disepakati bersama. Dengan kata lain, kalau mereka menjadi muslim yang sesuai dengan standar, itu terjadi karena latar belakang pendidikan dan kultural masing-masing.
Sedangkan sikap responsif fakultatif adalah jika kekuatan gerakan Islam cukup besar di parlemen atau di MPR maka mereka akan berusaha membuat perundang-undangan yang sesuai dengan ajaran Islam. Kalau tidak, mereka juga tidak memaksakan, melainkan menerima aturan yang dianggap berbeda dari ajaran Islam. Sedangkan sifat konfrontatif, sejak awal menolak kehadiran hal-hal yang dianggap “tidak Islami”.
Gus Dur sejalan dengan organisasi afiliasinya NU mengambil bentuk yang pertama. Mayoritas umat Islam Indonesia mendukung negara Pancasila dan hanya sedikit yang menginginkan berdirinya negara Islam dan itupun dilakukan dengan cara damai karena mereka tidak melawan otoritas pemegang kekuasaan negara melainkan dengan membangun “masyarakat ideal” yang diyakini sebagai pelaksanaan konsep negara dalam Islam. Konsep “masyarakat ideal” ini yang secara konsisten dirumuskan oleh para pemikir Muslim modern sejak al-Afghani hingga Sayid Qutb dan al-Maududi (Wahid, 1998: 69).

1. Landasan Menerima Negara Pancasila
Pilihan NU untuk menerima konsep negara bangsa didasarkan pada kenyataan Indonesia sebagai negara pluralistik adalah sulit untuk mendirikan negara Islam formal. Bila negara formal Islam dipaksakan maka akan melahirkan kekerasan-balik (counterviolence) yang mungkin lebih hebat dan berakibat pada peningkatan kekerasan yang tidak terkontrol. Karena itu agama diperankan sebagai penjamin martabat manusia (Wahid, 1998: 72).
Pertimbangan menerima konsep negara bangsa juga didasarkan pada pertimbangan fiqh (hukum Islam). Memang sudah seharusnya sebagai organisasi keagamaan, setiap langkah NU dilakukan untuk mengamalkan dan melaksanakan ajaran Islam. Pilihan mensubordinasikan hukum Islam pada negara didasarkan pada kaidah-kaidah hukum yang menjadi pedoman NU berikut ini. Dalam mengantisipasi berbagai gejala sosial NU tidak bersikap mutlak-mutlakan. Kewajiban untuk mengamalkan ajaran Islam itu dipenuhi sebatas kemampuan dengan memperhatikan berbagai faktor lain. Jika kemampuan hanya menghasilkan sebagian saja, maka yang sebagian itu tidak ditinggalkan. Orientasinya dalam melaksanakan kewajiban diukur seberapa jauh dampak positif dan negatif itu. Kewajiban tidak bisa dipaksakan jika ternyata dengan itu berakibat munculnya dampak negatif yang menimbulkan kerugian bagi diri atau orang lain. Jika ternyata hal itu harus menghadapi pilihan, langkah yang diutamakan ialah memilih yang paling kecil resiko negatifnya. Tradisi pemikiran ini tidak berarti NU bersifat pesimis, menyerah sebelum bertanding, karena NU juga melakukan jalb al-masalih (melaksanakan kewajiban), tidak dalam kaitannya dengan aspek darurah (temporer) yang mungkin akan menimbulkan mafsadah (kerusakan) (Haidar, 1998: 6).
Keputusan mensubordinasikan Islam pada negara bangsa didasarkan juga pada tradisi keilmuan yang dianut NU. Tradisi keilmuan NU mempertautkan secara organis antara tauhid, fiqh dan tasauf secara tidak berkeputusan, yang dalam jangka panjang menumbuhkan pandangan terpautnya sendiri antara dimensi duniawi dan ukhrowi dari kehidupan. Pada satu sisi NU percaya kepada barokah yang memungkinkan intervensi hubungan seorang hamba kepada Tuhannya. Pada sisi lain, spritualitas yang dikongkritkan kedalam rangkaian kegiatan ritualistik yang intensif memungkinkan adanya “penyiraman jiwa” dari kekeringan penghayatan iman dan kemiskinan batin, sehingga terpelihara kontinuitas antara pandangan serba fiqih di satu ujung dan intensitas penghayatan iman yang tinggi di ujung lain, membentuk sebuah kesejarahan tersendiri (Wahid, 1999c: 154-5).
Berdasarkan tradisi keilmuan ini, NU memandang persoalan kehidupan (kemasyarakatan/ bernegara) yang tidak bercorak “hitam-putih”, karenanya penerapan hukum Islam tidak mensyaratkan ditegakkannya negara Islam. Walaupun umat Islam tidak dapat mendirikan negara Islam, tetapi itu tidak menghalangi mereka melaksanakan hukum Islam karena perpautan kedua dimensi duniawi dan ukhrowi dalam kehidupan manusia tidak memungkinkan penolakan mutlak kepada kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Dengan kata lain, seburuk-buruk kehidupan dunia, ia haruslah dijalani dengan kesungguhan dan ketulusan (Wahid, 1999c: 155).

2. Negara condition sine qua non Mencegah Anarkhi
Kewajiban hidup bermasyarakat, dan dengan sendirinya bernegara, adalah sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi. Eksistensi negara mengharuskan adanya ketaatan kepada pemerintah sebagai sebuah mekanisme pengaturan hidup, yang dilepaskan dari perilaku pemegang kekuasaan dalam kapasitas pribadi. Kesalahan tindakan atau keputusan pemegang kekuasaan tidaklah mengharuskan adanya perubahan dalam sistem pemerintahan. Konsekuensi pandangan ini adalah keabsahan negara begitu ia berdiri dan mampu bertahan, dan penolakan sistem alternatif sebagai pemecahan masalah-masalah utama yang dihadapi suatu bangsa yang telah membentuk negara. Dengan demikian, cara-cara yang digunakan dalam melakukan perbaikan keadaan senantiasa bercorak gradual. Pandangan tentang negara barulah akan bersifat penolakan bentuk yang ada, jika keseluruhan tradisi keilmuagamaan yang dianut NU telah memberi legitimasi untuk itu, seperti terjadi dengan fatwa “perang jihad” yang dikeluarkan Rais Akbar NU K.H. Hasyim Asy’ari pada permulaan perang kemerdekaan, yang mendukung bentuk negara baru RI (Wahid, 1999c: 156).
Bagi NU, siapa yang memegang pemerintahan tidak penting karena yang harus dijaga adalah tetapnya negara. Prinsip adanya negara harus diterima terhadap kenyataan tidak adanya negara (faudla) (Wahid, 2000b: 9). Karena tujuan didirikannya negara adalah untuk mencegah anarkhi, dimana tertib sosial sebagai prasyarat bagi tertib agama. Bahkan Imam Ghazali mengatakan seratus hari pemerintahan yang otoriter adalah lebih baik daripada keadaan anarkhis.
Dengan maksud mencegah anarkhi maka pada tahun 1936 Muktamar NU di Banjarmasin membuat keputusan yang sangat unik, yang nantinya akan melandasi sikap NU terhadap ideologi, politik dan pemerintahan di Indonesia, yakni mengklasifikasikan Indonesia yang sedang diperintah Hindia Belanda sebagai negara Muslim (dar al-Islam). Hal itu sebagai jawaban atas pertanyaan mengenai status tanah Hindia Belanda yang sedang diperintah oleh para penguasa non-Muslim Belanda, apakah harus dipertahankan dan dibela dari serangan luar. Karena statusnya sebagai dar al-Islam maka wajib hukumnya secara fiqih untuk membela dari serangan luar. Jawabannya diambil dari salah satu kitab kuning yang berjudul Bughyatul Mustarsyidin karya Syaikh Hasan Al-Hadhrami, dikemukakan alasan pendapat berikut: negara ini pernah mengenal adanhya kerajaan-kerajaan Islam; penduduknya masih menganut dan melaksanakan ajaran Islam; dan Islam sendiri tidak sedang dalam keadaan diganggu atau diusik (Wahid, 1989: 9).
Justifikasi Hindia Belanda sebagai dar al-Islam (negeri muslim), padahal dalam kenyataannya pemerintah yang berkuasa adalah pemerintah Hindia Belanda yang kafir, memiliki dua makna yang sangat penting dalam kehidupan suatu bangsa atau masyarakat. Di satu pihak, Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum Muslimin untuk melaksanakan ajaran agamanya, sebagai condition sine qua non bagi penerimaan Islam atas esksistensi negara tersebut, dan dengan demikian memberikan tolak ukur yang jelas bagi kaum Muslimin dalam kehidupannya. Di lain pihak, Islam membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi politiknya ditentukan oleh proses sejarah. Kedua hal itu langsung memungkinkan kaum Muslimin untuk sekaligus memiliki kesetiaan kepada ajaran Islam, disamping kesetiaan pada negara yang bukan negara Islam. Dengan demikian, pola yang berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin dengan orientasi keagamaan yang kuat (Wahid, 2004: 1).
Selama kaum Muslimin dapat menyelenggarakan kehidupan beragamanya secara penuh, maka konteks pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat perhatian. Pemikiran seperti ini pula yang melandasi pandangan dasar kaum Al-ahlus sunnah wa al-jama’ah, seperti penerimaan mereka atas Kekhalifahan Usmaniyah di Turki atas seluruh dunia Islam, padahal mereka bukan dari suku Quraisy. (Menurut pandangan klasik paham Sunni, kepemimpinan negara (imamah), termasuk yang berbentuk kekhalifahan, haruslah berada di tangan orang Quraisy, karena adanya hadits tentang hal ini). Dengan kata lain, pemerintahan ditilik dan dinilai dari fungsionalisasinya, bukan dari norma formal dari eksistensinya, negara Islam atau bukan.
Dasar NU melegitimasi keberadaan suatu negara didasarkan pada kesediaan negara memfasilitasi suatu lembaga yang akan mengurus kepentingan hukum Islam. Pada zaman Hindia Belanda, adanya lembaga kepenghuluan yang memungkinkan umat Islam menjalankan syariat agama, walaupun bersifat sebagian, dan sangat terbatas, menjadi alasan adanya celah kelembagaan yang dapat mengatur kehidupan syariat Islam dijalankan oleh orang-orang Islam sendiri (Haidar, 1998: 95). Kebijakan yang serupa juga dilanjutkan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Setelah Indonesia merdeka dan menjadi negara Pancasila maka eksistensinya dilegitimasi oleh fiqih NU, dengan konsekuensi Menteri Agama pertama KH A. Wachid Hasyim (1946-1956) mensubordinasikan syariah (hukum agama) pada supremasi ideologi Pancasila. Kalau mempertahankan pemerintahan nonmuslim dilihat dari sudut pandang agama adalah kewajiban utama, maka mempertahankan pemerintah oleh kaum muslimin (Soekarno, Hatta, dan Syahrir) adalah kewajiban agama juga.
Ketentuan yang sama itu juga yang membuat NU menolak kehadiran “NII” yang didirikan oleh Kartosuwiryo, bahkan sejak semula para ulama NU telah menyatakannya sebagai bughat (pemberontak) yang harus dibasmi. Untuk keperluan itulah, dikukuhkan kedudukan Kepala Negara RI menjadi waliyyul amri dharuri bissyaukah (pemegang pemerintahan sementara dengan kekuasaan penuh), oleh sebuah pertemuan ulama yang didominir ulama NU. Presiden RI diterima sebagai pemegang pemerintahan, karena negara telah ada dan harus ada yang memimpin. Kedudukannya bersifat sementara (hingga hari kiamat), karena ia tidak dipilih oleh ulama yang berkompeten untuk itu (halul halli wal aqdi), melainkan melalui proses lain, sehingga tidak sepenuhnya memiliki keabsahan di mata hukum fiqh. Namun kekuasaannya harus tetap efektif, karenanya ia berkuasa penuh. Atas dasar kekuasaannya itu, ia berwewenang mengangkat pejabat-pejabat agama melalui pendelegasian wewenang itu kepada menteri agama (Wahid, 1999c: 156-164).
Pemikiran progresif KH A. Wachid Hasyim diteruskan dan dikembangkan lebih jauh lagi oleh duet kepemimpinan KH Ahmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang masing-masing terpilih sebagai Rais `Am NU dan Ketua Umum PBNU NU dalam Mukhtamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984. Perlu diketahui KH Achmad Siddiq pernah menjadi sekretaris pribadi Menteri Agama KH Wachid Hasyim; sedangkan Gus Dur mewarisi pemikiran progressif ayahnya KH Wachid Hasyim. Kebijakan NU menyangkut hubungan Islam dengan negara Pancasila cenderung bersifat pragmatis, mengikuti perkembangan yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam mensikapi perkembangan tersebut NU hanya mendasarkan pada prinsip-prinsip fiqih (hukum agama) seperti yang saya kemukakan di atas, terutama mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada menegakkan kewajiban agama. Karena itu NU tidak memaksakan pendirian negara Islam, baik pada waktu menjelang kemerdekaan maupun dalam sidang-sidang Dewan Konstituante (1957-1959); tetapi NU tidak pernah berhenti berusaha di dalam usahanya memberikan penerangan agama supaya umat siap menerima negara Islam. Bisa diibaratkan hubungan agama dan negara seperti hubungan pesantren dan masyarakat sekitarnya. Pesantren puas dengan kedudukannya sebagai sub-kultur yang menjadi panutan bagi masyarakat di sekitarnya; dan pihak masyarakat cukup mengakui peranan sentral ini. Pesantren merumuskan produk-produk hukum agama yang tidak bersikap mengikat semua masyarakat, dan pesantren memberi teladan pelaksanaan hukum-hukum agama di dalam masyarakat tersebut.
Hubungan Islam dan negara Pancasila dirumuskan secara jelas pada tahun 1984 dalam Mukhtamar NU yang dikomandoi oleh KH Ahmad Siddiq dan Gus Dur. Hal ini dilakukan sebagai jawaban terhadap kebijakan deideologisasi partai politik Islam yang dilancarkan oleh regim Soeharto yang otoriter. Diputuskan bahwa negara Pancasila adalah bentuk final perjuangan umat Islam di Indonesia. Akhirnya dengan kesadaran NU menolak strategi perjuangan Islam dan mengikuti strategi pembangunan nasional yang diprakarsai oleh Abdurrahman Wahid. Dia menolak kecenderungan monolitik untuk menegaskan kembali nilai-nilai Islam karena hanya akan mengalienasi gerakan-gerakan ini dari jaringan koalisi nasional warga negara yang lebih luas. Bila terisolasi dari koalisi nasional itu, gerakan Islam akan tampak menjadi kelompok sektarian dan akhirnya akan menciptakan perasaan tak diikutkan (sense of exclusion), sehingga melahirkan sektarianisme faktual, bila bukan separatisme palsu. Karena itu Gus Dur mengajak untuk menemukan identitas yang bisa membangun rasa memiliki pada Islam dan juga memelihara rasa memiliki itu pada jaringan kelompok yang lebih besar dan luas yang dimotivasi oleh ideologi-ideologi dunia, keimanan-keimanan yang lain dan kepribadian global (Wahid, 1998: 72).
Gus Dur sejalan dengan Asghar Ali Engineer dalam papernya Islamic State dan the Secular State. Tujuan berdirinya negara Islam sudah penuhi oleh gagasan negara modern yang bersifat sekuler karena persamaan tujuan antara negara sekuler dan negara Islam, yaitu sama-sama melindungi hak-hak pribadi para warga negaranya, sedangkan masalah selainnya itu hanya bentuk luar yang dapat saja diubah oleh rakyat melalui lembaga perwakilan (Wahid, 1999b : 22). Gus Dur juga sejalan dengan mantan Mahkamah Agung di Mesir, Muhammad Said Al-Ashmawi, bahwa hukum Napoleon dari Barat yang menjadi landasan Hukum Pidana Mesir saat ini telah memenuhi ketentuan-ketentuan syariah karena hukum itu telah menampung dua hal penting dari syariah, yaitu unsur ketahanan (detterence) dan hukumnya (punitive) (Wahid, 2000b: 7).

DUALISME HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA PANCASILA
Gus Dur mengemukakan konsep dualisme legitimitas antara agama dan negara, yakni negara memberikan legitimasi pada agama-agama yang ada, termasuk agama Islam, dan agama Islam yang dipeluk mayoritas bangsa ini memberikan legitimasi pada negara. Gus Dur dengan tegas menandaskan negara Pancasila tidak berkepentingan dengan negara agama, dalam hal ini negara Islam. Karena itu negara Pancasila tidak dimaksudkan untuk menerapkan hukum-hukum Islam (Wahid, 2000b: 11). Komitmen umat Islam pada negara Pancasila berkaitan dengan urusan keduniawian (muamalah), yaitu kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian hal ini mempunyai dimensi ibadah, karena umat Islam melakukan semua urusaan keduniawian itu sebagai bagian dari pengabdiaannya kepada Allah. Mereka ikhlas melakukan semua urusan keduniawian demi kemaslahatan umum, menciptakan masyarakat adil dan makmur.
Sebaliknya negara tidak perlu terlalu jauh mencampuri urusan agama. Karena itu Gus Dur tidak setuju dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan suatu agama sebagai agama resmi. Pemerintah Orde Baru hanya mengakui 5 agama resmi, yaitu Islam, Katholik, Protestan, Hindu, dan Budha, disamping diakui juga aliran kepercayaan kepada Tuhan YME. Dengan hal ini pemerintah Orde Baru sudah terlalu jauh memasuki wilayah keyakinan pemeluk agama. Kebijakan seperti ini jelas sangat berbahaya bila digunakan oleh pemerintah untuk mengadu domba kekuatan di dalam masyarakat demi mempertahankan kekuasaannya. Bila suatu lembaga keagamaan bentukan pemerintah seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia) bagi Islam dan PGI (Persekuan Gereja Indonesia) bagi Protestan, diberi legitimasi oleh pemerintah untuk menindas suatu cabang yang tumbuh dalam suatu agama maka kehancuran suatu cabang itu berarti juga akan melemahkan kekuatan umat beragama itu secara keseluruhan; lalu pemerintah akan dengan mudah mengendalikan dan mengontrol umat beragama tersebut. Ketika muncul kasus Kong Hu Cu misalnya, Gus Dur termasuk salah seorang yang menentang sikap pemerintah yang terlampau jauh menggunakan otoritasnya sampai memasuki wilayah keyakinan pemeluk agama. Pada waktu itu pemerintah, dalam hal ini catatan sipil, tidak mau mengakui perkawinan dua warga Kong Hu Chu karena Kong Hu Chu bukanlah agama yang diakui secara resmi negara.
Dalam pandangan Gus Dur, negara hendaknya hanya bertugas mengatur jalannya kehidupan antar maupun inter umat beragama. Karenanya negara dituntut bersikap adil dan tidak boleh berpihak kepada salah satu agama. Dalam pandangan Gus Dur, pemerintah bertindak sebagai polisi lalulintas, yang mengatur jalannya lalu lintas hubungan antara umat beragama. Dasar untuk mengatur hubungan itu adalah dasar negara Pancasila. Negara tidak boleh memonopoli penafsiran Pancasila, mengingat Pancasila adalah ideologi terbuka, sebagai suatu kompromi politik dari berbagai kekuatan, sehingga semua umat beragama diberi kebebasaan untuk berpartisipasi dalam memaknai ideologi Pancasila. Gus Dur menyakini demokrasi adalah nilai yang paling prinsip dalam Pancasila dan harus dijunjung tinggi untuk menyelesaikan berbagai persoalan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun bermasyarakat. Termasuk persoalan ideologi. Pancasila sebagai ideologi terbuka harus mengakomodasi semua ideologi/isme yang berkembang di masyarakat, termasuk politik Islam (Wahid, 1991).
Dualisme hubungan agama dan negara sepintas nampak bersifat sekuler. Tapi jika kita coba memahami lebih mendalam lagi, justru Gus Dur ingin mengembalikan agama kepada keadaannya yang genuine dan autentik. Yaitu agama yang bersifat memperibadi, sebagai tindakan privat yang lebih menekankan pada pencapaian pengalaman spiritual. Keadaan seperti ini dapat dicapai jika agama terbebaskan dari segala bentuk objektivikasi yang biasanya muncul dari wilayah publik. Bisa jadi yang publik itu berasal dari habitat yang sama seperti organisasi keagamaan, maupun dari wilayah publik lain seperti politik. Dalam konteks kehidupan agama di Indonesia, realitas publik yang disebut terakhir patut memperoleh perhatian mengingat daya penetrasinya yang kuat, terutama ketika dalam suatu epoch politik menjadi sesuatu yang paling dominan. Apa pun wilayah politiknya, baik yang ada dalam lingkup negara maupun masyarakat, resistensi agama seringkali kurang begitu kokoh dalam menghadapi praktek manipulasi, seperti kecenderungan mengatasnamakan tindakan politik tertentu dengan simbol agama.
Gus Dur sangat menyadari kalau agama tidak bisa dipisahkan dari politik karena agama merupakan sumber nilai. Apalagi Islam sebagai agama hukum sangat berkepentingan untuk menundukkan semua persoalan kepada syariah (hukum agama). Oleh karena itu, agar politik dapat memberikan kemaslahatan kepada publik maka agama perlu diperankan, bukan dalam wujudnya yang bersifat formalistik, melainkan yang substantif dalam pengertian agama diarahkan pada upaya pemberian dasar-dasar etik dan moral terhadap seluruh proses politik.
Ini berarti jalannya pemerintahan tidak lalu terlepas sama sekali dari kendali keagamaan. Bahkan oleh NU diajukan tuntutan agar kebijakan pemerintah senantiasa disesuaikan kepada ketentuan-ketentuan fiqih, sehingga sikap itu sendiri sering diterima oleh kalangan pemerintah sendiri sebagai hambatan di kala melaksanakan wewenangnya. Untuk kepentingan penilaian apakah jalannya pemerintahan tidak bertentangan dengan ketentuan fiqh, digunakan tolok ukur sejumlah kaidah fiqh, seperti “kebijakan kepada pemerintahan harus mengikuti kesejahteraan rakyat” (tasharruful imam ‘alarra’iyyah manutun bil mashlahah) (Wahid, 1999c: 159).

5. Simpulan
Islam tidak mempunyai konsep kenegaraan karena dalam Al-Qur’an tidak ada doktrin, Nabi Muhammad SAW tidak bersifat politis tapi moralis, Nabi tidak merumuskan mekanisme suksesi, dan sesuai dengan pendekatan universal bahwa misi kenabian bukan untuk mendirikan negara tapi membentuk kemanusiaan manusia, dan bentuk negara itu bervariasi. Karena itu umat Islam di Indonesia menerima Negara Pancasila berdasarkan pertimbangan: (1) Sebagai negara pluralistik maka bila negara formal Islam dipaksakan akan melahirkan kekerasan-balik (counterviolence) yang mungkin lebih hebat dan berakibat pada peningkatan kekerasan yang tidak terkontrol. Karena itu agama diperankan sebagai penjamin martabat manusia; (2) Kaidah-kaidah hukum NU tidak bersikap mutlak-mutlakan. Kewajiban untuk mengamalkan ajaran Islam itu dipenuhi sebatas kemampuan dengan memperhatikan berbagai faktor lain. Orientasinya dalam melaksanakan kewajiban diukur seberapa jauh dampak positif dan negatif itu; (3) Tradisi keilmuan NU mempertautkan dimensi duniawi dan ukhrowi dari kehidupan. Pada satu sisi NU percaya kepada barokah yang memungkinkan intervensi hubungan seorang hamba kepada Tuhannya. Pada sisi lain, spritualitas yang dikongkritkan kedalam rangkaian kegiatan ritualistik yang intensif memungkinkan adanya “penyiraman jiwa” dari kekeringan penghayatan iman dan kemiskinan batin.
Hubungan Islam dan negara Pancasila dirumuskan secara jelas pada tahun 1984 dalam Mukhtamar NU yang dikomandoi oleh KH Ahmad Siddiq dan Gus Dur. Hal ini dilakukan sebagai jawaban terhadap kebijakan deideologisasi partai politik Islam yang dilancarkan oleh regim Soeharto yang otoriter. Diputuskan bahwa negara Pancasila adalah bentuk final perjuangan umat Islam di Indonesia. Dengan kesadaran NU menolak strategi perjuangan Islam dan mengikuti strategi pembangunan nasional yang diprakarsai oleh Abdurrahman Wahid. Dia menolak kecenderungan monolitik untuk menegaskan kembali nilai-nilai Islam karena hanya akan mengalienasi gerakan-gerakan ini dari jaringan koalisi nasional warga negara yang lebih luas. Bila terisolasi dari koalisi nasional itu, gerakan Islam akan tampak menjadi kelompok sektarian dan akhirnya akan menciptakan perasaan tak diikutkan (sense of exclusion), sehingga melahirkan sektarianisme faktual, bila bukan separatisme palsu. Karena itu Gus Dur mengajak untuk menemukan identitas yang bisa membangun rasa memiliki pada Islam dan juga memelihara rasa memiliki itu pada jaringan kelompok yang lebih besar dan luas yang dimotivasi oleh ideologi-ideologi dunia, keimanan-keimanan yang lain dan kepribadian global.

DAFTAR RUJUKAN:
Bisri, Cholil, 2000, “Pengantar” dalam Zaini Shofari Al-Raef dan Andri Taufik H (eds.) Membangun Demokrasi, Bandung: Rosda.

Effendi, Djohan, 2000, “Sang Humanis” dalam Tim INCReS (ed.), Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Bandung: Rosda.

Haidar, M. Ali, 1998, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik, Jakarta: Gramedia.

Wahid, Abdurrahman, 1989, “Kata Pengantar” dalam Einar Martahan Sitompul NU dan Pancasila, Jakarta: Sinar Harapan.

_________________, 1991. Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya dengan Kehidupan Beragama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (eds.). Pancasila sebagai Ideologi. Jakarta: BP 7 Pusat.

_________________, 1998, “Islam, Anti-Kekerasan, dan Transformasi Nasional”, dalam Glenn D. Paige, Chaiwat Satha Anand, dan Sarah Gilliatt (eds.) Islam Tanpa Kekerasan, a.b. M. Taufiq, Yogyakarta: LKiS.

_________________, 1999b, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Jakarta: Kompas.

_________________, 1999c, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LkiS.

_________________, 2000a. “Islam: Punyakah Konsep Kenegaraan?” dalam Shaleh Isre ed. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LkiS.

_________________, 2000b, Membangun Demokrasi, Bandung: Rosda.

_________________, 2004, “Islam, Ideologi dan Etos Kerja di Indonesia”, dalam http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/EtosKerja.html .

Senin, 28 Februari 2011

Hegemonisasi Pendidikan

Pendidikan diakui ataupun tidak adalah sebuah proses pembentukan karakter yang akan menentukan arah gerak suatu bangsa kedepan. Maju mundurnya sebuah bangsa atau Negara sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya. Kiranya, tidak ada yang menyangkal jikapun kemudian, pendidikan diartikan sebagai salah satu bentuk penyiapan “ready stock” bagi putra-putri bangsa dalam rangka menghantarkan bangsa ini menjadi sebuah bangsa yang besar. Karena pendidikan dimaknai sebagai suatu proses maka, realisasi pendidikan mulai dari penguasa baca;Negara-, Masyarkat hingga kebijakan yang diterapkan harus berpijak pada konsepsi jangka panjang. Konsepsi tersebut tentunya terkandung maksud terciptanya suatu suasana belajar yang kondusif bagi anak didik. Tanpa adanya suasana tersebut, maka dunia pendidikan kita akan senantiasa terjebak kepada pragmatisme sempit yang tercerabut dari makna dan filosofi pendidikan itu sendiri. Inilah yang kemudian mengharuskan adanya nurani dan iktikad baik untuk mewujudkan makna pendidikan tersebut. Akan tetapi, ketika kemudian dikaitkan dengan realitas di lapangan, sayangnya mulai dari para petinggi Negara, para akademisi serta pelaku birokrasi di Negara ini, malah menjadikan dunia pendidikan kita sebagai lahan produktif untuk menggapai ambisi pribadi ataupun kelompoknya masing-masing.
Melihat perkembangan dunia pendidikan di Negara ini tentunya banyak orangpun juga sepakat jika, perhatian pemerintah dalam urusan pendidikan ini semakin besar. Tapi sayang sekali, perhatian pemerintah yang semakin semakin besar ini memiliki maksud dan tujuan berbeda dengan tujuan pendidikan yang telah di amanatkan dalam UUD 1945. Apalagi jika ternyata anggaran yang dikucurkan oleh pemerintah ini sangat luar bisa besar. Dengan tiba-tiba mereka yang sebelumnya tidak konsen dalam dunia pendidikan, muncul bak pahlawan kesiangan. Ironis memang, besarnya perhatian pemerintah dalam dunia pendidikan ini masih tidak diimbangi dengan ketegasan pemerintah dalam bertindak. Pemerintah masih terkesan separuh hati untuk memenuhi proses penting dalam pembentukan sejarah bangsa ini kedepan.
Bermula dari ketidaktegasan pemerintah serta longgarnya pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat. Maka, selain penyalahgunaan anggaran juga akan berpotensi pembelokan tujuan suci daripada pendidikan itu sendiri. Pemerintah seharusnya memberikan ruang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk ikut andil dalam pendidikan. Apalagi sejak diterbitkannya UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Jika pemerintah masih terkesan kucing-kucingan atas kebijakan yang diambilnya maka, esensi dari supremasi hukum yang katanya banyak orang negeri ini, mengenal sebagai hukum hanyalah omong kosong belaka. Oleh karena itu pantaslah andaikan, dunia pendidikan kita ini jika disandingkan dengan supremasi hukum. Jawabnya adalah bertolak belakang dan tak pernah bertemu. Dan akan menjadi sah-sah saja manakala dunia pendidikan kita ini dikatakan semakin amburadul dan hancur lebur. Analisanya adalah dengan diterbitkannya UU No 20 tahun 2003, PP No 19 tahun 2005 ataupun aturan menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002. Kewajiban pemerintah adalah menjalankan amanah dari peraturan tersebut. Tapi anehnya, justru pemerintah sendirilah yang melanggarnya. Indikatornya adalahnya mekanisme pembentukan Dewan pendidikan hingga kemudian terbentuknya dewan pendidikan yang jelas-jelas dalam Kepmendikans No 044/U/2002 dinyatakan untuk jabatan ketua dewan pendidikan tidak boleh berasal dari unsur pemerintah dan DPRD malah ditabrak. Bukankah dalam logika hukum yang mengatakan lex generalis tidak boleh di kalahkan oleh lex spesialis seharusnya berlaku, jikapun Negara ini masih mengakui sebagai Negara hukum sesuai dengan UUD 1945 dalam pasal 1 ayat (3).
Ada apa dengan Dewan Pendidikan Tulungagung ?
Pertanyaan ini cukup menggelitik. Karena jabatan dewan pendidikan bukanlah jabatan fungsional yang akan menghasilkan banyak uang. Akan tetapi secara politis jelas sekali sangat bisa mempengaruhi kepentingan sang pemangku jabatan. Terlebih lagi, orientasi jabatan dalam Dewan pendidikan yang di embannya ini berproyeksi sebagai hegemonisasi kekuasaan. Karena dalam logika politik yang mengatakan bahwa, dengan kekuasaan yang dipegang maka dunia menjadi genggaman, akan sangat berlaku ketika politisasi kebijakan sangat mendominasi.
Alasannya sangat sederhana sekali, jika rambu-rambu yang telah dilegalkan dalam rangka sebagai rel atau jalur formal untuk bertindak tidak lagi menjadi acuan, maka didalam kebijakan tersebut, pasti terselubung kepentingan tersembunyi yang pragmatis. Wal hasil, mulai dari Perda, Peraturan Pemerintah, hingga UU tidak lagi menjadi pertimbangan dalam penentuan kebijakan aturan dibawahnya. Dan kalaupun terjadi pendholiman atas status hukum, maka, hal itu bukan lagi dianggap sebagai masalah, melaikan, sebagai upaya politisasi dalam rangka menyelamatkan kepentingan-kepentingan pragmatis tersebut.
Dan ketika dunia pendidikan ini kian asyik berselingkuh dengan dunia politik praktis, harapan UUD 1945 yang diperkuat lagi dengan UU SISDIKNAS No 20 tahun 2003 yang tertuang dalam pasal 3 sesuai dengan fungi dan tujuan pendidikan untuk menjadikan Pendidikan Nasional sebagai fungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tidak akan pernah bisa tercapai.
Memang dalam analisis yang sangat sederhana, Ketika perselingkuhan politik dengan dunia pendidikan ini tidak segera disikapi, maka, nasib pendidikan dengan fungsi dan tujuan pendidikan yang sesuai dengan amanah UUD 1945, akan jauh dari harapan. Dalam bahasa budaya, ketika kesalahan demi kesalahan yang terjadi ini, kemudian diabaikan dan disikapi dengan sikap opportunistik, maka, suatu saat akan terjadi pembiasan antara yang benar dan salah. Bermula dari sinilah, kebenaran yang sudah memiliki nilai essensial fundamental, terbalik menjadi kebenaran hanya berlaku dan bergantung kepada siapa yang menilainya. Kebenaran yang sudah obyektif ini menjadi sebuah kebenaran subyektif. Salah dan benar tidak ada bedanya, yang beda adalah kamu, kalian, saya, kita dan mereka. Jika yang menilai penguasa maka siapapun yang menentang penguasa, dialah yang telah salah.
Patut di pahami, bahwa segala macam aturan yang telah legal ini adalah salah produk politik. Akan tetapi, jika bentuk realisasi kebijakan berlandaskan politis, maka, aturan yang telah ada tersebut akan dijalankan pada arah politik. Hal tesebut justru akan menjadi sebuah kesalahan besar sekaligus sangat fatal, karena menyangkut nasib generasi penerus bangsa yang esensinya adalah pembentukan watak bukan hanya mencerdaskan manusia. Jika kecerdasan secara politik tanpa diimbangi dengan etika politik, hasilnya jelas akan meciptakan mental dan nalar kekuasaan. Sedang dalam sejarah dunia kekuasaan ini, tidak pernah ada yang tunduk dengan hukum meskipun di sebuah Negara tersebut menganut asas sebagi Negara hukum, tunduknya kekuasaan ini hanya pada materi dan kepuasan. Untuk ukuran materi dan kepuasaan ini, sampai kapanpun tidak akan bisa di definisikan secara kalkulatif dan matematis. Sekali lagi jika, landasan filosofis atas kebijakan dalam dunnia pendidikan yang diambil berlandaskan orientasi politis maka hasilnya justru akan mengukuhkan sebuah pemerintahan yang otoriter. Sebuah ironisasi dunia pendidikan kita.
Sebenarnya berdasarkan atas perjuangan para founding father Negara ini, dalam memperjuangkan kemerdekaan tidak lain adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa secara menyeluruh, melalui kemerdekaan. Tanpa adanya kemerdekaan tujuan untuk mensejahterkan rakyat sekali lagi tidak akan tercapai. Dan patut disayangkan, kemerdekaan yang seharusnya di terapkan dalam dunia pendidikan ini justru kian tertutupi dengan nilai-nilai Neo-Imperialisme yang kini semakin merajalela. Menunggangkan kepentingan politik diatas pembangunan bangsa masih tetap disengaja untuk dikerdilkan oleh sebuah kepentingan pragmatis yang bernama Kekuasaan. Pemerintah yang terus menerus menyedot darah rakyat, sehingga jikapun rakyat harus menjadi rakyat yang cerdas, tapi kecerdasan yang hanya parsial bukan secara universal, bahkan buta karena lapar akan pendidikan yang seharusnya mereka dapatkan hanyalah sesuatu yang sangat jauh dari kemungkinan. Polarisasi dominasi kekuasaan atas pendidikan di Negara inilah yang akan menjadikan bangsa ini menjadi jongos para imperialist oleh bangsanya sendiri.
Dengan keserakahan pemerintah yang selalu Lapar Uang, Lapar Kekuasaan. Pendidikan Indonesia yang diupayakan tentunya hanya akan mengejar formalisasi serta upaya meng-hegemonisasi peserta didik lewat jalur resmi yakni pendidikan agar berada dalam sistem yang telah disiapkan oleh penguasa untuk di remote menjadi seorang robot bukan manusia seutuhnya sesuai dengan tujuan pendidikan yang termaktub dalam UUD 1945.
Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita akan mengkritisi dan bersikap terhadap masalah yang diungkapkan seorang sosiolog berkebangsaan Jerman, Emile Durkheim yang menyatakan bahwa, pendidikan bermakna ganda, satu sisi berfungsi sebagai pencerahan dan pembebasan, tetapi di sisi lain yang berfungsi sebagai belenggu kesadaran. Begitu juga yang di nyatakan oleh Paulo Freire atas gambaran besar dalam hegemonisasi pendidikan melalui pendekatan sistem pendidikan, yaitu hubungan kekuasaan dengan pengetahuan; dan tugas intelektual.

Kamis, 10 Februari 2011

KEKUASAAN ITU BERNAMA PENDIDIKAN

Oleh : Ali Sadad

Ada sebuah gambaran menarik yang disampaikan oleh Samuel P Huntington tentang perbandingan kemajuan Negara Korea Selatan (Korsel) dibandingkan dengan Negara Ghana. Dalam ilustrsainya tersebut ia mengatakan bahwa Negara Korsel pada tahun 1960-an, kondisinya tidak berbeda dengan Negara Ghana. Tetapi 30 tahun kemudian yaitu tahun 1990-an, Korsel sudah menjadi raksasa industri yang hamper menyamai Negara Jepang dengan ekonomi terbesar ke-14 di dunia, perusahaan-perusahaan multinasional, ekspor mobil, alat elektronik, dan barang canggih hasil pabrik lainnya dalam jumlah yang sangat besar, serta pendapatan per kapita sudah mendekati Yunani. Sementara Negara Ghana tidak mengalami perubahan yang berarti, dan produk domestic bruto (PDB) Ghana per kapitanya, terhitung hanya seperlimabelasnya dari Korsel.
Bagaimana kemudian menjelaskan perbedaan yang luar biasa dalam maslah dua Negara ini? Huntington berkesimpulan bahwa: budaya, memainkan peran besar. Orang Korea Selatan menghargai hidup hemat, investasi, kerja keras, disiplin, organisasi, dan pendidikan sangat di nomorsatukan.
Pertanyaanya kemudian, bagaimana dengan Negara kita, Indonesia ini ?
Indonesia adalah sebuah Negara yang “katanya” guru-guru ku sejarah pada saat saya masih dibangku skolah dulu merupakan yang sangat kaya, kaya akan sumber daya alam, diperkuat lagi hamper semua penduduknya beragama (meskipun sering ditemui banyak terjadi kekerasan berdasarkan agama) dan lembaga-lembaga pendidikan juga bertambah pesat, sampai-sampai pada daerah tingkat kabupaten hingga kecamatan sudah berdiri perguruan tinggi. Akantetapi bagaimana keadaan masyarakatnya? Ternyata kondisi yang di temukan adalah tidak jauh berbeda dengan Negara Ghana. Jumlah penduduk miskin dan pengangguran justru bertambah banyak. Bersamaan dengan itu, jumlah orang-orang yang melakukan korupsi juga meningkat. Suka atau tidak suka, membuktikan bahwa lembaga agama dan lembaga pendidikan, ternyata tidak mampu menjawab persoalan pokok negeri ini: kemiskinan dan mentalitas yang buruk.
Adakah yang salah? Budayakah….? Ataukah pendidikan itu sendiri yang nota benenya sebagai bagian dari pembentukan budaya. Lantas pendidikan yang bagaimana yang seharusnya di terapkan di negeri ini. Padahal bias di pastikan setiap ganti rezim akan ganti pula kurikulum di negeri ini. Bahkan ketika Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di terapkan pada tahun 2006pun masih saja tidak bias menyentuh persoalan esensi dari pendidikan itu sendiri. Tentu saja hal ini akan tetap menjadi pertanyaan-pertanyaan yang terlalu rumit untuk di tuntaskan..
Mengapa..?
Sangat sederhana sebenarnya ketika berbicara tentang bagaimana kemudian meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan, terutama sekali pendidikan yang ada di tingkatan kabupaten-kabupaten. Dalam bahasa sederhana di warung kopi syarat untuk bias memajukan pendidikan adalah adanya prinsip profesionalisme. Profesionalisme berarti tidak melakukan pendholiman pendidikan. Pendholiman pendidikan berarti tidak mencampur adukkan ranah pendidikan dan ranah politik.
Jika kemudian “pendholiman pendidikan” ini akan terjadi secara terus menerus maka harapan akan peningkatan mutu dan kualitas pendidikan hanya akan menjadi alat untuk menghegemoni pendidikan dalam ranah kekuasaan. Dan kemudian ketika hegemoni kekuasaan membungkan daya kreatifitas pendidikan maka, segala macam cara akan di lakukan demi memperoleh kekuasaan.
Hal inilah yang kemudian menjadi gurita dalam pendidikan. Pendidikan di jadikan alat untuk quo vadis kekuasaan. Bahkanpun kalau perlu jabatan-jabatan strukturalpun diisi oleh orang-orang “politisi” jika filosofi pendidikan diganti dengan filosofi “absolutely power”. Maka apa yang di katakan olek Lord Action dimana “power tend corrupt absolutely power absolutely corrupt” akan berlaku di sini. Lihat saja kasus dewan pendidikan yang ada di tulungagung yang juga di muat di radar tulungagung pada minggu ini. Padahal dalam aturan mentri pendidikan nasional nomor 044/U/2002 tentang dewan pendidikan dan komite sekolah dalam lampiran 1 keputusan menteri pendidikan nasional nomor 044/U/2002 tanggal 2 april 2002 menyatakan bahwa keanggotaan dewan pendidikan teridiri atas yang terdiri dari Unsure masayarakat : pertama, dari LSM Bidang Pendidikan, kedua, dari tokoh Masyarakat, ketiga, dari tokoh Pendidikan, keempat, dari yayasan penyelenggara Pendidikan, kelima, berasal dari dunia usaha/Indiustri/Asosiasi profesi, keenam dari Organisasi profesi tenaga pendidikan dan yang ketuju dari komite sekolah Sedangkan kepengurusannya dalam item 3 di nyatakan ketua bukan dari unsure pemerintah daerah dan DPRD.

ADA APA DENGAN ANGGARAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN TULUNGAGUNG.
Anggaran pendidikan sesuai dengan amanat undang-undang mengahruskan minimal alokasi dana yang di anggarkan sebesar 20 % dari total anggaran. Akan tetapi kemudian ketika berlimpahnya materi-baca;dana, dalam pendidikan itu diberlakuakn, disini kemudian permasalahan yang lain akan muncul. Apalagi jika tidak ada pengawasan yang ketat untuk kemudian memonitoring alokasi dana pendidikan yang dikucurkan melebihi batas kewajaran tingkat kemampuan daerah. Menjadi parah lagi jika yang memonitoring alokasi pendidikan ini di indikasikan orang-orangnya parpol. Bayangkan jika kemudian seperti pemerintah setingkat daerah begitu bermurah hati menggelontorkan dana pendidikan yang mencapai Rp 455.810.847.149 atau sekitar 44% di tambah lagi Dana Alokasi Khusus (DAK) yang berjumlah Rp 70 Milyar. Padahal dana APBD kabupaten Tulungagung pada tahun anggaran 2010 sedang mengalami defisit yang sebesar Rp 657.819.725. (Radar Tulungagung Selasa, 8 Februari 2011). Bagaimana kemudian menjelaskan secara nalar logis jika di saat sedang tertimpa krisis keuangan justru pada sisi yang lain malah menghambur-hamburkan uang. Bukankah dalam penyusunan anggaran harus menggunakan konsep perimbangan. Sekali lagi kenapa para anggota dewan kita lupa atas aturan yang menjadi juklak juknisnya. Maka, menjadi lengkaplah kata bang napi dalam siaran berita criminal di stasiun televise swasta. Kejahatan itu muncul bukan karena adanya niat, melaikan di sebabkan oleh adanya kesempatan.
Sekedar flsh back Berdasarkan laporan UNESCO (2007), mislanya, peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara di dunia. Education Development Index (EDI) Indonesia hanya 0.935 yang berada di bawah negeri jiran kita Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965). bukankah mereka dulunya pernah belajar kepada kita. Tapi bagaimana mereka sekarang, mereka telah melesat sedemikian jauh meinggalkan negera kita yang katanya sangat kaya itu…
Inikah yang menjadi harapan kita demi generasi muda yang akan datang……….

BTA CENTER ISLAMIC STUDENT OF MOVEMENT