SELAMAT DATANG Tak ada sebuah perjuangan yang berujung dengan sia-sia بسم الله الرحمن الرحيم

Senin, 28 Februari 2011

Hegemonisasi Pendidikan

Pendidikan diakui ataupun tidak adalah sebuah proses pembentukan karakter yang akan menentukan arah gerak suatu bangsa kedepan. Maju mundurnya sebuah bangsa atau Negara sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya. Kiranya, tidak ada yang menyangkal jikapun kemudian, pendidikan diartikan sebagai salah satu bentuk penyiapan “ready stock” bagi putra-putri bangsa dalam rangka menghantarkan bangsa ini menjadi sebuah bangsa yang besar. Karena pendidikan dimaknai sebagai suatu proses maka, realisasi pendidikan mulai dari penguasa baca;Negara-, Masyarkat hingga kebijakan yang diterapkan harus berpijak pada konsepsi jangka panjang. Konsepsi tersebut tentunya terkandung maksud terciptanya suatu suasana belajar yang kondusif bagi anak didik. Tanpa adanya suasana tersebut, maka dunia pendidikan kita akan senantiasa terjebak kepada pragmatisme sempit yang tercerabut dari makna dan filosofi pendidikan itu sendiri. Inilah yang kemudian mengharuskan adanya nurani dan iktikad baik untuk mewujudkan makna pendidikan tersebut. Akan tetapi, ketika kemudian dikaitkan dengan realitas di lapangan, sayangnya mulai dari para petinggi Negara, para akademisi serta pelaku birokrasi di Negara ini, malah menjadikan dunia pendidikan kita sebagai lahan produktif untuk menggapai ambisi pribadi ataupun kelompoknya masing-masing.
Melihat perkembangan dunia pendidikan di Negara ini tentunya banyak orangpun juga sepakat jika, perhatian pemerintah dalam urusan pendidikan ini semakin besar. Tapi sayang sekali, perhatian pemerintah yang semakin semakin besar ini memiliki maksud dan tujuan berbeda dengan tujuan pendidikan yang telah di amanatkan dalam UUD 1945. Apalagi jika ternyata anggaran yang dikucurkan oleh pemerintah ini sangat luar bisa besar. Dengan tiba-tiba mereka yang sebelumnya tidak konsen dalam dunia pendidikan, muncul bak pahlawan kesiangan. Ironis memang, besarnya perhatian pemerintah dalam dunia pendidikan ini masih tidak diimbangi dengan ketegasan pemerintah dalam bertindak. Pemerintah masih terkesan separuh hati untuk memenuhi proses penting dalam pembentukan sejarah bangsa ini kedepan.
Bermula dari ketidaktegasan pemerintah serta longgarnya pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat. Maka, selain penyalahgunaan anggaran juga akan berpotensi pembelokan tujuan suci daripada pendidikan itu sendiri. Pemerintah seharusnya memberikan ruang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk ikut andil dalam pendidikan. Apalagi sejak diterbitkannya UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Jika pemerintah masih terkesan kucing-kucingan atas kebijakan yang diambilnya maka, esensi dari supremasi hukum yang katanya banyak orang negeri ini, mengenal sebagai hukum hanyalah omong kosong belaka. Oleh karena itu pantaslah andaikan, dunia pendidikan kita ini jika disandingkan dengan supremasi hukum. Jawabnya adalah bertolak belakang dan tak pernah bertemu. Dan akan menjadi sah-sah saja manakala dunia pendidikan kita ini dikatakan semakin amburadul dan hancur lebur. Analisanya adalah dengan diterbitkannya UU No 20 tahun 2003, PP No 19 tahun 2005 ataupun aturan menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002. Kewajiban pemerintah adalah menjalankan amanah dari peraturan tersebut. Tapi anehnya, justru pemerintah sendirilah yang melanggarnya. Indikatornya adalahnya mekanisme pembentukan Dewan pendidikan hingga kemudian terbentuknya dewan pendidikan yang jelas-jelas dalam Kepmendikans No 044/U/2002 dinyatakan untuk jabatan ketua dewan pendidikan tidak boleh berasal dari unsur pemerintah dan DPRD malah ditabrak. Bukankah dalam logika hukum yang mengatakan lex generalis tidak boleh di kalahkan oleh lex spesialis seharusnya berlaku, jikapun Negara ini masih mengakui sebagai Negara hukum sesuai dengan UUD 1945 dalam pasal 1 ayat (3).
Ada apa dengan Dewan Pendidikan Tulungagung ?
Pertanyaan ini cukup menggelitik. Karena jabatan dewan pendidikan bukanlah jabatan fungsional yang akan menghasilkan banyak uang. Akan tetapi secara politis jelas sekali sangat bisa mempengaruhi kepentingan sang pemangku jabatan. Terlebih lagi, orientasi jabatan dalam Dewan pendidikan yang di embannya ini berproyeksi sebagai hegemonisasi kekuasaan. Karena dalam logika politik yang mengatakan bahwa, dengan kekuasaan yang dipegang maka dunia menjadi genggaman, akan sangat berlaku ketika politisasi kebijakan sangat mendominasi.
Alasannya sangat sederhana sekali, jika rambu-rambu yang telah dilegalkan dalam rangka sebagai rel atau jalur formal untuk bertindak tidak lagi menjadi acuan, maka didalam kebijakan tersebut, pasti terselubung kepentingan tersembunyi yang pragmatis. Wal hasil, mulai dari Perda, Peraturan Pemerintah, hingga UU tidak lagi menjadi pertimbangan dalam penentuan kebijakan aturan dibawahnya. Dan kalaupun terjadi pendholiman atas status hukum, maka, hal itu bukan lagi dianggap sebagai masalah, melaikan, sebagai upaya politisasi dalam rangka menyelamatkan kepentingan-kepentingan pragmatis tersebut.
Dan ketika dunia pendidikan ini kian asyik berselingkuh dengan dunia politik praktis, harapan UUD 1945 yang diperkuat lagi dengan UU SISDIKNAS No 20 tahun 2003 yang tertuang dalam pasal 3 sesuai dengan fungi dan tujuan pendidikan untuk menjadikan Pendidikan Nasional sebagai fungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tidak akan pernah bisa tercapai.
Memang dalam analisis yang sangat sederhana, Ketika perselingkuhan politik dengan dunia pendidikan ini tidak segera disikapi, maka, nasib pendidikan dengan fungsi dan tujuan pendidikan yang sesuai dengan amanah UUD 1945, akan jauh dari harapan. Dalam bahasa budaya, ketika kesalahan demi kesalahan yang terjadi ini, kemudian diabaikan dan disikapi dengan sikap opportunistik, maka, suatu saat akan terjadi pembiasan antara yang benar dan salah. Bermula dari sinilah, kebenaran yang sudah memiliki nilai essensial fundamental, terbalik menjadi kebenaran hanya berlaku dan bergantung kepada siapa yang menilainya. Kebenaran yang sudah obyektif ini menjadi sebuah kebenaran subyektif. Salah dan benar tidak ada bedanya, yang beda adalah kamu, kalian, saya, kita dan mereka. Jika yang menilai penguasa maka siapapun yang menentang penguasa, dialah yang telah salah.
Patut di pahami, bahwa segala macam aturan yang telah legal ini adalah salah produk politik. Akan tetapi, jika bentuk realisasi kebijakan berlandaskan politis, maka, aturan yang telah ada tersebut akan dijalankan pada arah politik. Hal tesebut justru akan menjadi sebuah kesalahan besar sekaligus sangat fatal, karena menyangkut nasib generasi penerus bangsa yang esensinya adalah pembentukan watak bukan hanya mencerdaskan manusia. Jika kecerdasan secara politik tanpa diimbangi dengan etika politik, hasilnya jelas akan meciptakan mental dan nalar kekuasaan. Sedang dalam sejarah dunia kekuasaan ini, tidak pernah ada yang tunduk dengan hukum meskipun di sebuah Negara tersebut menganut asas sebagi Negara hukum, tunduknya kekuasaan ini hanya pada materi dan kepuasan. Untuk ukuran materi dan kepuasaan ini, sampai kapanpun tidak akan bisa di definisikan secara kalkulatif dan matematis. Sekali lagi jika, landasan filosofis atas kebijakan dalam dunnia pendidikan yang diambil berlandaskan orientasi politis maka hasilnya justru akan mengukuhkan sebuah pemerintahan yang otoriter. Sebuah ironisasi dunia pendidikan kita.
Sebenarnya berdasarkan atas perjuangan para founding father Negara ini, dalam memperjuangkan kemerdekaan tidak lain adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa secara menyeluruh, melalui kemerdekaan. Tanpa adanya kemerdekaan tujuan untuk mensejahterkan rakyat sekali lagi tidak akan tercapai. Dan patut disayangkan, kemerdekaan yang seharusnya di terapkan dalam dunia pendidikan ini justru kian tertutupi dengan nilai-nilai Neo-Imperialisme yang kini semakin merajalela. Menunggangkan kepentingan politik diatas pembangunan bangsa masih tetap disengaja untuk dikerdilkan oleh sebuah kepentingan pragmatis yang bernama Kekuasaan. Pemerintah yang terus menerus menyedot darah rakyat, sehingga jikapun rakyat harus menjadi rakyat yang cerdas, tapi kecerdasan yang hanya parsial bukan secara universal, bahkan buta karena lapar akan pendidikan yang seharusnya mereka dapatkan hanyalah sesuatu yang sangat jauh dari kemungkinan. Polarisasi dominasi kekuasaan atas pendidikan di Negara inilah yang akan menjadikan bangsa ini menjadi jongos para imperialist oleh bangsanya sendiri.
Dengan keserakahan pemerintah yang selalu Lapar Uang, Lapar Kekuasaan. Pendidikan Indonesia yang diupayakan tentunya hanya akan mengejar formalisasi serta upaya meng-hegemonisasi peserta didik lewat jalur resmi yakni pendidikan agar berada dalam sistem yang telah disiapkan oleh penguasa untuk di remote menjadi seorang robot bukan manusia seutuhnya sesuai dengan tujuan pendidikan yang termaktub dalam UUD 1945.
Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita akan mengkritisi dan bersikap terhadap masalah yang diungkapkan seorang sosiolog berkebangsaan Jerman, Emile Durkheim yang menyatakan bahwa, pendidikan bermakna ganda, satu sisi berfungsi sebagai pencerahan dan pembebasan, tetapi di sisi lain yang berfungsi sebagai belenggu kesadaran. Begitu juga yang di nyatakan oleh Paulo Freire atas gambaran besar dalam hegemonisasi pendidikan melalui pendekatan sistem pendidikan, yaitu hubungan kekuasaan dengan pengetahuan; dan tugas intelektual.