Oleh : Ali Sadad
Ada sebuah gambaran menarik yang disampaikan oleh Samuel P Huntington tentang perbandingan kemajuan Negara Korea Selatan (Korsel) dibandingkan dengan Negara Ghana. Dalam ilustrsainya tersebut ia mengatakan bahwa Negara Korsel pada tahun 1960-an, kondisinya tidak berbeda dengan Negara Ghana. Tetapi 30 tahun kemudian yaitu tahun 1990-an, Korsel sudah menjadi raksasa industri yang hamper menyamai Negara Jepang dengan ekonomi terbesar ke-14 di dunia, perusahaan-perusahaan multinasional, ekspor mobil, alat elektronik, dan barang canggih hasil pabrik lainnya dalam jumlah yang sangat besar, serta pendapatan per kapita sudah mendekati Yunani. Sementara Negara Ghana tidak mengalami perubahan yang berarti, dan produk domestic bruto (PDB) Ghana per kapitanya, terhitung hanya seperlimabelasnya dari Korsel.
Bagaimana kemudian menjelaskan perbedaan yang luar biasa dalam maslah dua Negara ini? Huntington berkesimpulan bahwa: budaya, memainkan peran besar. Orang Korea Selatan menghargai hidup hemat, investasi, kerja keras, disiplin, organisasi, dan pendidikan sangat di nomorsatukan.
Pertanyaanya kemudian, bagaimana dengan Negara kita, Indonesia ini ?
Indonesia adalah sebuah Negara yang “katanya” guru-guru ku sejarah pada saat saya masih dibangku skolah dulu merupakan yang sangat kaya, kaya akan sumber daya alam, diperkuat lagi hamper semua penduduknya beragama (meskipun sering ditemui banyak terjadi kekerasan berdasarkan agama) dan lembaga-lembaga pendidikan juga bertambah pesat, sampai-sampai pada daerah tingkat kabupaten hingga kecamatan sudah berdiri perguruan tinggi. Akantetapi bagaimana keadaan masyarakatnya? Ternyata kondisi yang di temukan adalah tidak jauh berbeda dengan Negara Ghana. Jumlah penduduk miskin dan pengangguran justru bertambah banyak. Bersamaan dengan itu, jumlah orang-orang yang melakukan korupsi juga meningkat. Suka atau tidak suka, membuktikan bahwa lembaga agama dan lembaga pendidikan, ternyata tidak mampu menjawab persoalan pokok negeri ini: kemiskinan dan mentalitas yang buruk.
Adakah yang salah? Budayakah….? Ataukah pendidikan itu sendiri yang nota benenya sebagai bagian dari pembentukan budaya. Lantas pendidikan yang bagaimana yang seharusnya di terapkan di negeri ini. Padahal bias di pastikan setiap ganti rezim akan ganti pula kurikulum di negeri ini. Bahkan ketika Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di terapkan pada tahun 2006pun masih saja tidak bias menyentuh persoalan esensi dari pendidikan itu sendiri. Tentu saja hal ini akan tetap menjadi pertanyaan-pertanyaan yang terlalu rumit untuk di tuntaskan..
Mengapa..?
Sangat sederhana sebenarnya ketika berbicara tentang bagaimana kemudian meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan, terutama sekali pendidikan yang ada di tingkatan kabupaten-kabupaten. Dalam bahasa sederhana di warung kopi syarat untuk bias memajukan pendidikan adalah adanya prinsip profesionalisme. Profesionalisme berarti tidak melakukan pendholiman pendidikan. Pendholiman pendidikan berarti tidak mencampur adukkan ranah pendidikan dan ranah politik.
Jika kemudian “pendholiman pendidikan” ini akan terjadi secara terus menerus maka harapan akan peningkatan mutu dan kualitas pendidikan hanya akan menjadi alat untuk menghegemoni pendidikan dalam ranah kekuasaan. Dan kemudian ketika hegemoni kekuasaan membungkan daya kreatifitas pendidikan maka, segala macam cara akan di lakukan demi memperoleh kekuasaan.
Hal inilah yang kemudian menjadi gurita dalam pendidikan. Pendidikan di jadikan alat untuk quo vadis kekuasaan. Bahkanpun kalau perlu jabatan-jabatan strukturalpun diisi oleh orang-orang “politisi” jika filosofi pendidikan diganti dengan filosofi “absolutely power”. Maka apa yang di katakan olek Lord Action dimana “power tend corrupt absolutely power absolutely corrupt” akan berlaku di sini. Lihat saja kasus dewan pendidikan yang ada di tulungagung yang juga di muat di radar tulungagung pada minggu ini. Padahal dalam aturan mentri pendidikan nasional nomor 044/U/2002 tentang dewan pendidikan dan komite sekolah dalam lampiran 1 keputusan menteri pendidikan nasional nomor 044/U/2002 tanggal 2 april 2002 menyatakan bahwa keanggotaan dewan pendidikan teridiri atas yang terdiri dari Unsure masayarakat : pertama, dari LSM Bidang Pendidikan, kedua, dari tokoh Masyarakat, ketiga, dari tokoh Pendidikan, keempat, dari yayasan penyelenggara Pendidikan, kelima, berasal dari dunia usaha/Indiustri/Asosiasi profesi, keenam dari Organisasi profesi tenaga pendidikan dan yang ketuju dari komite sekolah Sedangkan kepengurusannya dalam item 3 di nyatakan ketua bukan dari unsure pemerintah daerah dan DPRD.
ADA APA DENGAN ANGGARAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN TULUNGAGUNG.
Anggaran pendidikan sesuai dengan amanat undang-undang mengahruskan minimal alokasi dana yang di anggarkan sebesar 20 % dari total anggaran. Akan tetapi kemudian ketika berlimpahnya materi-baca;dana, dalam pendidikan itu diberlakuakn, disini kemudian permasalahan yang lain akan muncul. Apalagi jika tidak ada pengawasan yang ketat untuk kemudian memonitoring alokasi dana pendidikan yang dikucurkan melebihi batas kewajaran tingkat kemampuan daerah. Menjadi parah lagi jika yang memonitoring alokasi pendidikan ini di indikasikan orang-orangnya parpol. Bayangkan jika kemudian seperti pemerintah setingkat daerah begitu bermurah hati menggelontorkan dana pendidikan yang mencapai Rp 455.810.847.149 atau sekitar 44% di tambah lagi Dana Alokasi Khusus (DAK) yang berjumlah Rp 70 Milyar. Padahal dana APBD kabupaten Tulungagung pada tahun anggaran 2010 sedang mengalami defisit yang sebesar Rp 657.819.725. (Radar Tulungagung Selasa, 8 Februari 2011). Bagaimana kemudian menjelaskan secara nalar logis jika di saat sedang tertimpa krisis keuangan justru pada sisi yang lain malah menghambur-hamburkan uang. Bukankah dalam penyusunan anggaran harus menggunakan konsep perimbangan. Sekali lagi kenapa para anggota dewan kita lupa atas aturan yang menjadi juklak juknisnya. Maka, menjadi lengkaplah kata bang napi dalam siaran berita criminal di stasiun televise swasta. Kejahatan itu muncul bukan karena adanya niat, melaikan di sebabkan oleh adanya kesempatan.
Sekedar flsh back Berdasarkan laporan UNESCO (2007), mislanya, peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara di dunia. Education Development Index (EDI) Indonesia hanya 0.935 yang berada di bawah negeri jiran kita Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965). bukankah mereka dulunya pernah belajar kepada kita. Tapi bagaimana mereka sekarang, mereka telah melesat sedemikian jauh meinggalkan negera kita yang katanya sangat kaya itu…
Inikah yang menjadi harapan kita demi generasi muda yang akan datang……….
BTA CENTER ISLAMIC STUDENT OF MOVEMENT