SELAMAT DATANG Tak ada sebuah perjuangan yang berujung dengan sia-sia بسم الله الرحمن الرحيم

Sabtu, 05 Mei 2012

NAHDLATUL ‘ULAMA DAN USAHA PENDIDIKANNYA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nahdlatul Ulama adalah Jam’iah Diniyah Islamiyah (Organisasi Sosial Keagamaan Islam) yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 atau bertepatan pada tanggal 16 rajab 1344 H oleh para ulama yang berhaluan Ahlusunnah Waljama’ah yang sering di singkat dengan Aswaja. Tokoh pendirinya antara lain K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H Abdul Wahab Hasbullah.
Pendirian organisasi NU pada dasarnya tidak bias dilepaskan dari adanya kekhawatiran para ulama’ akan hilangnya tradisi-tradisi dan ajaran Islam yang telah kuat mengakar di tengah masyarakat muslim Indonesia, sebagai akibat dari munculnya gerakan yang mengatasnamakan dirinya sebagai gerakan pemurnian (puritanisme) agama dan pembaruan Islam.
Menurut K.H Idham Chalid, NU sebenarnya merupakan isme itu sendiri. Karena pahamnya yang telah menyatu dalam budaya dan tradisi yang sudah terlestarikan. NU sebagai organisasi mungkin saja bubar atau dibubarkan, akan tetapi karena NU sebagai isme, sebagai paham yang telah melembaga dalam budaya dan tradisi tidak mungkin dibubarkan karena isme tersebut telah menyatu dalam masyarakat. Pelembagaan yang sudah include ini tidak mementingkan struktur atau organisasi yang formal.
Sejarah pergerakan NU sebenarnya adalah sejarah pendidikan nusantara. Pohon organisasi NU sangat rimbun oleh lembaga-lembaga pendidikan seperti pesantren, majelis taklim, diniyyah, madrasah/ sekolah dan perguruan tinggi. Dalam hal pendidikan, NU merupakan salah satu lokomotif pembaharuan pendidikan. Setahun setelah berdirinya, persisnya pada Muktamar NU ke-2 (1927), Muktamirin mengagendakan penggalangan dana secara nasional untuk mendirikan dan membangun madrasah dan sekolah. Pada Muktamar NU ke-3 (1928), elite NU memprakarsai gerakan peduli pendidikan dengan mengajak para Muktamirin untuk mengunjungi pesantren-pesantren besar seperti Tambak Beras yang dipimpin KH. Wahab Chasbullah, Denanyar yang dipimpin oleh KH. Bisri Syamsuri, dan Nganjuk yang dipimpin oleh K. Fathudin Seror Putih.
Selama pesantren tetap hidup berkembang dan para ulama tetap menyiarkan paham Ahlusunnah Waljama’ah serta melaksanakan amar makruf nahi munkar, selama itu pula NU sebagai isme tetap hidup. Penyebaran Ahlusunnah Waljama’ah bagi NU bertujuan untuk mengembangkan perjuangan dalam peningkatan ibadah dengan melaksanakan pengajian-pengajian rutin bagi setiap warganya, karena itulah pada mulanya NU merupakan kumpulan sosial yang mementingkan pendidikan dan pengajaran Islam. Meskipun pada awalnya pelmbagaan-pelembagan secara formal tidak diperlukan. Akan tetapi karena adanya tuntutan perubahan itu sendiri, maka hal inilah yang kemudian memunculkan pelembagaan secara formal dikemudian hari.
NU yang terlahir 85 tahun silam ini tentunya banyak sekali khazanah-khazanah sejarah yang layak untuk kita ketahui bersama. Terutama sekali yang berkaitan dengan dunia pendidikannya. Oleh karena itulah kami dari kelompok 21 berusaha mengupas tetang NU dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam hal pendidikannya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah singkat berdirinya NU ?
2. Bagaimana NU memulai membentuk lembaga pendidikannya ?
3. Apa saja Usaha NU dalam pendidikan ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui sejarah singkat berdirinya NU.
2. Untuk mengetahui bagaimana NU memulai membentuk lembaga pendidikan
3. Untuk mengetahui usaha NU dalam pendidikannya.


BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA NU
Embrio NU adalah Taswirul Afkar, yaitu sebuah gerakan diskusi yang didirikan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah. Taswirul Afkar merupakan gerakan para pemuda dan lahir dari ide pemuda, yang melatih diri dalam melahirkan pikiran dalam suatu acara diskusi. Apa yang dibicarakannya adalah tentang situasi zaman yang saat itu sedang bergolak dengan gerakan menanamkan kesadaran kebangsaan yang dipelopori oleh Sarikat Islam. Gerakan SI ini semula memperlihatkan kekuatan politiknya di Surabaya di bawah pimpinan HOS Cokroaminoto. Oleh kerana itu tidak mengherankan jika KH. Abdul Wahab Hasbullah mengambil inisiatif mendirikan organisasi Taswirul Afkar yang banyak membicarakan masalah tanah air di Surabaya.
Bergabungnya KH. Mas Mansur dalam kegiatan Taswirul Afkar maka gerakan tersebut tampil dengan nama baru, Nahdlatul Wathon pada tahun 1916. Walaupun Nahdlatul Wathon dalam setiap acara atau kegiatannya membidangi pendidikan umat Islam, namun dapat dibaca dengan jelas arti nama Nahdlatul Wathon kemana arah tujuannya, yaitu membangkitkan kesadaran nasional melalui pendidikan. Pilihan jalur pendidikan sebagai media rekrumen dan sosialisasi politik adalah sangat tepat, sebab pemerintah kolonial Belanda melalui Politik Etis-nya hanya merestui gerakan yang semata-mata bergerak dalam pendidikan. Akan tetapi, Nahdlatul Wathon tidak berarti sebagai gerakan sosial pendidikan yang pertama dalam masa gerakan nasional (1900-1942). Sebab sebelumnya telah lahir Muhammadiyah (1912), SI (1912), Perserikatan Ulama (1915) dan lain-lain. Jadi munculnya Nahdlatul Wathon sebagai upaya meluaskan gerakan sosial pendidikan umat Islam.
Kerja sama antara KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan KH. Mas Mansur untuk sementara tidak berlanjut akibat perbedaan pilihan sistem pemecahan masalah nasional yang dihadapi saat itu. KH. Mas Mansur memisahkan diri dan kemudia bergabung dengan Muhammadiyah tahun 1922. Sedangkan KH. Abdul Wahab Hasbullah kemudian membubarkan Nahdlatul Wathon, setelah itu membentuk organisasi kepemudaan yang diberi nama Subbanul Wathon tahun1922.
Memperhatikan kiprah KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam pentas nasional dalam rangka memberikan kesadaran pada masyarakat Muslim akan arti penting kemerdekaan. Silih berganti ia mendirikan organisasi sosial pendidikan dengan tujuan hal tersebut di atas. Tidak diragukan lagi, ternyata KH. Abdul Wahab Hasbullah seorang organisatoris yang handal dan mempuni. Ini terbukti kelihaian beliau dalam merespon setiap detik situasi masa itu. Termasuk nanti bagaimana ia mendirikan NU.
Kemudian, karena nama SW terkesan kurang dekat kepada para ulama yang berakibat pula para ulama tersebut kurang respek terhadap SW, maka untuk menambah agar perjuangan memajukan umat Islam didukung oleh para ulama sangat diperlukan sebuah nama yang populer di mana nanti ia akan dicintai oleh mereka.
Atas usul KH. Alwi Abdul Aziz, SW oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dirubah menjadi Nahdlatul Ulama, setelah disepakati oleh para ulama yang hadir di rumah KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam rangka mendirikan organisasi sosial yang berbasis Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja). Kesepakatan itu berlangsung pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M. Pada hari itulah lahirnya organisasi muslim tradisionalis paling besar hingga saat sekarang ini, yang bernama NU. Organisasi ini kemudian mendapat pengakuan secara de jure dari pemerintah kolonial Belanda, sesuai dengan surat keputasan tanggal 6 Februari 1930. sejak saat itu, NU hadir di tengah umat Islam dalam jangka waktu yang tidak terbatas, dengan Rais Akbar (Pemimpin Besar) yang pertama adalah KH. Hashim Asy’ari, ulama paling senior tanah Jawa periode itu, sekaligus murid KH. Khalil Bangkalan yang paling berpengaruh.
Perlu juga disebutkan, bahwa dalam pertemuan di rumah kediaman KH. Abdul Wahab Hasbullah di atas para ulama menyepakati tiga butir penting dalam rangka merespon situasi dan kondisi umat Islam secara global, yaitu kondisi umat yang sejak tahun 1924 sudah tidak memiliki payung tunggal yang mau melindungi dari berbagai ancaman yang ditimbulkan oleh kolonialis kapir Eropa, yang berupa kekhilafahan di Turki Utsmani.
Tiga butir kesepakatan itu antara lain:
1. Meresmikan berdirinya komite hijaz untuk mengirim delegasi ke Saudi Arabia guna bertemu dengan raja Ibn Sa’ud. Adapun yang bertugas sebagai utusan adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Syeikh Ahmad Ghanim al-Mishri.
2. Membatasi masa kerja komite hijaz hingga pulang dari menjalankan tugas di Makkah, maka komite hijaz dibubarkan.
3. membentuk suatu jami’ah atau organisasi sebagai wadah untuk memperstukan para ulama menuju tercapainya ‘izzatul Islam wal Muslimin.

Munculnya atau lahirnya NU diawali dengan suatu proses yang panjang, yaitu dengan munculnya gerakan nasionalisme yang antara lain ditandai dengan berdirinya SI (sebelumnya bernama SDI) yang telah mengilhami sejumlah pemuda pesantren yang bermukin di Makkah untuk mendirikan cabang perhimpunan disana. Namun hal tersebut belum sempat berkembang mereka sudah kembali karena pecah perang kedua. Setelah mereka sampai ditanah air, mereka mendirikan perhimpunan koperasi Nahdatul Watan (1914), Taswi-rul Afkar (1918) dan Perhimpunan Koperasi Nahdlatul Tujjar (1918). Selain itu di Surabaya didirikan perhimpunan local yang sejenis, antara lain Perserikatan Wataniyah, Ta’mirul Masajid dan Atta’dibiyah.
Sementara di belahan bumi yang lain, ketegangan dalam kongres al-Islam sepanjang paruh pertama pada tahun 1920-an dan berlanjut dalam siding-sidang komite khilafat, telah mendorong perhimpunan local di Surabaya itu turut mendirikan organisasi baru yang lebih luas dan berskala nasional. Karena mereka menilai lembaga-lembaga perhimpunan Islam atau kongres al-Islam tidak bersikap akomodatif terhadap visi yang mereka coba kembangkan. Ketengangan itu kemudian berlanjut setelah delegasi yang dikirimkan kekongres Mekkah tahun 1926. Setibanya di Makkah ternyata dalam konggres tersebut mengabaikan kepentingan-kepentingan yang mereka kembangkan. Mereka kemudian mengirimkan delegasi sendiri ke Mekkah untuk kepentingan tersebut mereka mendirikan perhimpunan baru yaitu NU. Dan adapun delegasi pendiri NU tersebut yaitu: Hasyim Asyari, Abdul Wahab Hasbullah dan Bisri Samsuri.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa motif utama yang mendasari gerakan para ulama membentuk NU adalah:
1. Motif keagamaan sebagai jihad fisabilillah
2. Tanggung jawab pengembangan pemikiran keagamaan yang ditandai dengan upaya pelestarian ajaran mazhab ahlus sunnah waljamaah.
3. Dorongan untuk mengembangkan masyarakat melalui kegiatan pendidikan, social dan ekonomi.
4. Motif politik yang ditandai dengan semangat nasionalisme ketika pendiri NU itu mendirikan cabang SI Mekkah serta obsesi mengenai hari depan negeri merdeka bagi ummat Islam.

B. Permulaan NU dalam membentuk lembaga pendidikan
Jika NU lahir dari dorongan adanya konstelasi politik saat itu, baik yang bersifat nasional, misalnya penindasan rezim kolonial Belanda, ataupun bersifat internasional, yaitu lenyapnya khalifah Utsmaniyah Turki dan penguasaan kaum Wahabi atas kota Makkah dan Madinah, kemudian paham itu menyebar ke Indonesia. Maka berbeda dengan latar belakang hadirnya LP Ma’arif NU yang murni dilatarbelakangi oleh keadaan pendidikan umat Islam, utamanya keadaan pendidikan umat Islam tradisional yang berbasis pesantren dan tidak terkoordinasi dengan baik.
Suatu hal yang amat mendesak untuk segera direspon setelah adanya NU adalah mendirikan divisi pendidikan yang terorganisir dengan baik tetapi tetap berada dalam naungan NU. Hal seperti itu, di samping menandingi dan menanggapi pendirian lembaga pendidikan yang mengusung paham pembaruan sebagaimana dimotori para kaum Muslim Modernis, yang sudah melenceng dari haluan Aswaja dan tidak lagi berpatokan pada madzhab yang empat. Ditambah lagi, untuk merespon pendirian pendidikan missi zending yang disubsidi oleh kolonial Belanda. Juga hal pendorong utama organisasi NU untuk segera membentuk lembaga pendidikan adalah untuk memberikan pengajaran yang bersifat modern dengan memasukkan ilmu-ilmu keduniaan (fardhu kifayah) kepada generasi muda NU dengan tetap mempertahankan paham Aswaja.
Para tokoh NU memandang bahwa untuk menyeimbangkan pemahaman generasi penerus NU terhadap kehidupan ini sangat dibutuhkan penguasaan akan ilmu-ilmu, yang dikatakan sebagian orang dengan sebutan ilmu sekuler. Jika untuk kemaslahatan umat, mengapa ilmu-ilmu itu harus dijauhi. Tentu, jika ilmu-ilmu itu tidak dipelajari maka umat Islam, khususnya generasi NU, semakain jauh tertinggal. Sementara umat-umat yang lain berada di garis depan menguasai berbagai segi kehidupan. Inilah sebenarnya latar belakang NU mendidirikan lembaga yang menaungi bidang pendidikan.
Oleh karena itu pada tanggal 11-16 Juni 1938 di Menes, Banten, 12 tahun setelah NU didirikan di Surabaya, sedang berlangsunglah perhelatan akbar NU berupa Mu’tamar ke- 13. Hal penting dari mu’tamar itu adalah didirikannya divisi khusus yang mengurusi masalah pendidikan dan diberi nama lembaga pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif) NU, dengan ketuanya K.H. Abdul Wahid Hasyim.
Signifikansi LP Ma’arif NU didirikan merupakan cita-cita para Ulama NU yang melihat kondisi umat Islam selama dibawah penjajahan Belanda sangat terpuruk. Utamanya kondisi dalam pendidikan, umat Islam pada masa LP Ma’arif didirikan, atau kebelakang dari masa itu, dalam keadaan amat tertinggal dari lembaga pendidikan yang dikelola oleh Belanda, ataupun yang dikelola oleh organisasi-organisasi keagamaan lainnya.
LP Ma’arif didirikan merupakan wujud amanah dari Anggaran Dasar (AD) NU. Sebagaimana berbunyi:
Di bidang pendidikan dan pengajaran, mengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran … untuk membina manusia Muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, berkepribadian serta berguna bagi Agama, Bangsa dan Negara.

AD di atas diputuskan dalam mu’tamar ke-13, kemudian diperbarui dalam mu’tamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo.
Dimasukkannya K.H. Abdul Wahid Hasyim sebagai ketua divisi LP Ma’arif NU yang pertama memang sangat tepat. Beliau adalah alumni ponpes Tebuireng yang didirikan oleh ayahnya, Hasyim Asy’ari, di mana sejak 1935 ponpes tersebut telah memasukkan ilmu-ilmu umum sebagai kurikulum wajib di pondok tersebut. Ini semakin nyata, sebagaimana penulis gambarkan, bahwa LP Ma’arif hadir ingin memberikan solusi bagaimana umat Islam yang berbasis tradisionalis ini, karena K.H. Abdul Wahid Hashim telah juga memberikan kebijakan pada LP Ma’rif sebagaimana yang ia tempuh dalam membina ponpes Tebuireng di Jombang sebelum menjadi ketua LP Ma’arif, tujuannya adalah agar mempunyai bekal dalam mengarungi kehidupan dunia kelak yang ternyata hal itu sangat membutuhkan penguasaan akan ilmu-ilmu keduniaan. Demikian di atas tentu berangkat dari ajaran Islam sebagaimana disabdakan Nabi SAW:
اعمل لدنياك كاءنك تعيش ابدا واعمل لاخرنك كاء نك تمو غدا (راوه ابو داود و ترمدى و احمد و ابن مجاه(
Artinya : Bekerjalah untuk kehidupan duniamu seakan-akan kamu hidup abadi, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok (H.R. Abu Daud, Tirmidhi, Ahmad dan Ibnu Majah).
Juga dalam sabda Nabi SAW yang lain:
انتم اعلم باءمور دنياكم (راه ابو داود(
Artinya : Kalian lebih mengetahui urusan-urusan keduniaan kalian” (H.R. Abu Daud)
Demikian tersebut sangat mempengaruhi petumbuhan LP Ma’arif NU ke depan. Maka sangat masuk akal jika kemudian desain kurikulum LP Ma’arif, disamping memantapkan epistemology paha Aswaja yang tetap dengan ketat berpatokan pada madzhab yang empat, juga kemudian memasukkan ilmu-ilmu, sebagaimana pendapat al-Ghazali yang dikutip oleh Syed al-Atas disebut dengan ilmu fardhu kifayah tak ayal lagi, NU melalui LP Ma’rif menampung ilmu-ilmu umum itu ke dalam kurikulumnya.
LP Ma’arif mencapai puncak ketenarannya waktu Subcha ZE. Subchan sebagai pemuda yang mencuat lewat aksi-aksi anti Komunis di era 1960-an, berhasil menjadi tokoh nasional pada usia 32 tahun. Ia membentuk komando aksi penggayangan Gestapu (KAP-Gestapu). Dalam masanya LP Ma’arif merasa diuntungkan karena posisi Subchan yang dekat dengan berbagai kalangan di puncak pemerintahan waktu itu. Ia dekat dengan kalangan meliter, utamanya petingginya, A.H Nasution. Sikapnya yang luwes, gaya bicaranya yang mempesona dan kuatan argumentasinya yang jitu, Subchan telah membawa LP Ma’arif menjadi lebih dikenal di luar NU. Ia mendekatkan para fungsionaris LP Ma’arif pada realitas dan kondisi sosial yang berkembang saat itu. Rupanya ia berhasil mengatur kurikulum di lingkungan LP Ma’arif lebih integritas, yang lebih sesuai dengan hakikat ilmu dalam Islam.
Cukup disayangkan, akibat konflik NU dengan rezim Soeharto di era 1970-an, akhirnya kondisi departemen Agama yang sejak masa kemerdekaan dipegang oleh Ulama NU, lepas dari genggamannya, yang pada masa terakhir itu dipimpin oleh K.H. Syaifuddin Zuhri. Lepasnya departemen ini dari genggaman NU berimplikasi amat besar kepada institusi NU dan juga LP Ma’arif itu sendiri. Maka bulan madu antara NU, sebagai atasan LP Ma’arif, dengan pemerintah cq. Departemen Agama, akhirnya buyar sama sekali. Kebijakan pemerintah yang berpihak pada NU sebelum departemen ini jatuh pada kaum Muslim modernis, akhirnya putus. Nuansa ke-NU-an yang sangat kental pada era Orde Lama (ORLA) yang diterapkan pada madrasah atau sekolah yang dikelola oleh departemen Agama dan madrasah-madrasah swasta, oleh Ahmad Mukti Ali, pengganti K.H. Syaifuddin Zuhri, dihilangkan sama sekali. NU dan LP Ma’arifnya termarginalkan. Lembaga-lembaga pendidikan dibawah NU memperoleh perlakuan diskriminatif. Kesan ini sepertinya terus-menerus berlangsung sepanjang rezim Orde Baru (ORBA) berkuasa. Baru kemudian kesan itu hilang setelah reformasi bergulir 21 Mei 1998.
Akibat dari perlakuan diskriminatif ini sekolah-sekolah menyembunyikan keterkaitan mereka dengan NU. Saat itu, tidak lagi terdengar istilah madrasah ibtida’iyah NU (MINU), sekolah dasar NU (SDNU), madrasah tsanawiyah NU (MTSNU), sekolah menengah NU (SMPNU/SMANU). Mereka menggunakan nama-nama yang kurang mencolok, seperti sekolah Wahid Hasyim, nama mantan menteri Agama. Dengan alasan yang sama, pada tahun 1972, Universitas NU di Malang diberi nama Universitas Sunan Giri, nama salah seorang walisanga
Pengelolaan yang tidak baik dan pemusatan konsentrasi pada aktifitas politik juga menjadi penyebab lambannya sistem pendidikan NU. LP Ma’arif sebagai divisi pendidikan NU sejak awal tahun 1970-an sudah mengkhawatirkan penyusutan anggotanya. Pada masa itu, 30% sekolah telah menarik diri dari LP Ma’arif.
Pada tahun 1984, dalam upayanya untuk mendapatkan kembali sekolah yang hilang atau bersembunyi dibalik nama pinjaman, LP Ma’arif mengeluarkan peraturan baru yang meminta sekolah-sekolah yang sealiran dengan NU agar dengan jelas menyatakan identitas dan kembali mendaftarkan diri ke LP Ma’arif. Permintaan ini hingga tahun 1987, tidak begitu membuahkan hasil, dan ini membawa akibat yang sangat buruk bagi usaha mendapatkan dana yang diperlukan untuk mengurusi sekolah-sekolah NU. Namun pada tahun 1991, beberapa pengurus pendidikan di daerah melihat madrasah-madrasah mulai mendaftarkan diri ke LP Ma’arif dan nama NU mulai muncul kembali di papan nama yang dipasang di depan sekolah masing-masing. Pada era itu pula, sekolah-sekolah di bawah NU kembali dilirik masyarakat muslim dan siswa yang masukpun mengalami kenaikan cukup baik. Demikian pula perguruan tinggi dibawah NU bertambah banyak dibangun. Di Malang ada Universitas Islam Malang (Unisma), di Bandung ada Universitas Islam Bandung (Unisba), di Jember ada Universitas Islam Jember (UIJ), dan di Madura ada Universitas Islam Madura (UIM). Semua ini menandakan perkembangan yang semakin baik dalam LP Ma’arif hingga masa sekarang ini.

C. Mengaktualisasikan pendidikan NU
Hingga kini, potensi pendidikan NU masih berupa “potensi aktif” yang perlu segera diaktualisasikan. Di berbagai forum, NU dicitrakan sebagai ormas yang titik tekannya lebih pada politik ketimbang pada citra “fitrahnya” sendiri sebagi ormas keagamaan (jam’iyyah dîniyyah) yang dilahirkan untuk memberdayakan masyarakat melalui gerakan dakwah dan pendidikan (al-da’wah wa al-tarbiyah). Berpolitik memang lebih menarik, akan tetapi kedewasaan berpolitik akan sulit tercapai jika kualitas pendidikan masyarakatnya rendah.
Oleh karena itu, NU membutuhkan disain pengembangan pendidikan yang dapat menjawab realitas dan tantangan kehidupan dalam multi aspeknya. Masa depan NU bisa tampak dari kualitas pendidikan hari ini. Kelemahan sektor pendidikan dapat menyebabkan erosi eksistensial NU –tidak hanya secara kultural, tetapi juga secara politik. Hal ini hanya bisa diatasi dengan mengaktifkan kembali proses penafsiran, transformasi dan pembudayaan nilai-nilai ke-NU-an melalui jalur pendidikan (formal, informal dan non-fromal).
Berkaitan dengan itu, perluasan network dengan sesama lembaga pendidikan --di lingkungan NU sendiri dan penyelenggara pendidikan lainnya-- juga dengan pemerintah, pihak swasta dan lembaga-lembaga kependidikan internasional merupakan kebutuhan pokok. Hal ini sebagai langkah untuk merespons kebutuhan masyarakat terhadap SDM yang berkualitas dalam era global.
Ketua PBNU KH. Hasyim Muzadi menyarankan agar mengkondusifkan lingkungan dan iklim organisasi, serta membuat sistem komunikasi yang baik di lingkungan NU saat ini juga. Pengembangan SDM tidak bisa berjalan efektif tanpa dibarengi oleh pengembangan sistem komunikasi. Oleh karena itu, saatnya sekarang dipikirkan bagaimana melakukan koordinasi terhadap seluruh satuan pendidikan di lingkungan NU dari Taman Kanak-Kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan perguruan tinggi. Melalui koordinasi tersebut, LP Ma’arif NU dan lembaga-lembaga lainnya akan mampu memetakan potensi yang ada pada masyarakat pelajar NU, dan mengembangkannya ke dalam bentuk yang lebih baik lagi.
Bagi jama’ah dan jam’iyyah NU, sektor pendidikan telah diyakini sebagai jalan utama ke arah terciptanya sumber daya manusia yang handal. Melalui pendidikan, NU dapat berpartisipasi dalam mengembangkan potensi manusia secara optimal agar memiliki kekuatan spiritual-keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan.
KH. Idham Chalid menyatakan bahwa pendidikan di lingkungan warga nahdhiyyin merupakan usaha untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreatifitas dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan tenggang rasa, menerapkan budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan sesama umat manusia. Dengan kata lain, pendidikan NU difokuskan untuk menciptakan manusia Indonesia yang sanggup beramal sholih dan bertakwa, serta mau memberikan dharma bhaktinya kepada masyarakat. (KH. Idham Chalid, Muker PTNU di Malang, 1976).

D. Usaha NU Dalam Pendidikan
Posisi dan peran ulama yaitu NU khususnya sangatlah penting dan terpokus pada dua hal. Pertama, mereka yang dengan bobot dan kekurangannya dan keutamaannya masing-masing berposisi dan sekaligus berperan sebagai pencerah alam fikir umat. Para ulama, sesuai dengan disiplin ilmu mereka masing-masing berperan aktif dalam mencerdaskan kehidupan umat. Pemikiran para ulama menjadi bahan rujukan ilmiah yang selalu dipegangi dan terus digali untuk selalu dikembangkan secara kreatif. Fatwa-fatwa hukum yang dihasilkan oleh para ulama selalu menjadi rujukan pengetahuan, menjadi dasar bimbingan moral dan menjadi acuan hukum sehingga umat tidak terombang ambing ketidak pastian, terutama dalam menghadapi kompleksitas masalah social masyarakat yang selalu timbul dalam kegidupan ini ejalan dengan gerak laju modernitas.
Kedua, posisi sentral dan peranan strategis ulama adalah sebagai panutan umat. Kualitas moral yang baik yang diperlihatkan dan dicontohkan oleh ulama sngat penting dan strategis ditengah-tengah kehidupan umat dan bangsa yang mengalami gelombang transformasi dari masyarakat tradisional kemayarakat modern atau dari masyarakat agrasi manuju masyarakat industry. Dalam keadaan demikian terjadi arus pergulatan dan pergumulasi nilai dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan keteladanan moral yang baik,mulia dan luhur dari para ulama, maka ummat akan mendapatkan contoh dan bimbingan moral sehingga umat tidak akan kehilangan arah dalam menjalani kehiudpan ini. Keteladanan moral yang diajarkan dan dicontohkan para ulama bertumpu pada prinsip ajaran amar ma’ruf nahi munkar. Prinsip ajaran ma’ruf nahi munkar ini sudah tentu masuk dalam berbagai wilayah perilaku manusia dan mencakup segala aspek kehidupan umat.
Tanpa prinsip amar ma’ruf nahi munkar, maka tatanan kehidupan politik, kebangsaan, kenegaraan, kebangsaan dan yang lainnya akan jatuh kedalam jurang Machiavelistis, yaitu suatu cara hidup yang mengerjakan tujuan menghalalkan segala cara, apapun caranya, asal tujuan tercapai maka akan dilakukan. Oleh karena itu dengan berpegang teguh pada ajaran amar ma’ruf nahi munkar, seluruh tatanan prilaku manusia akan dapat terkontrol dan terukur, dan dapat menyesuaikan perilakunya dengan ajaran luhur dan mulia tersebut.
Sementara LP Ma’arif NU yang merupakan lembaga di organisasi NU dalam mengembangkan Madrasah atau sekolah sangat kita rasakan peranannya, diberbagai pelosok desa, sampai ke kota, madrasah atau atau sekolah yang berafiliasi dengan NU, walau tidak menggunakan nama Ma’arif NU, diyakini semakin berkembang.
1. Dalam bidang pendidikan formal
Satu misal adalah Madura yang dikatakan sebagai kantong NU, berbagai lembaga dari berbagai tingkatan terus menerus bermunculan. Di Sumenep, LP Ma’arif mendirikan sekolah bercorak umum sampai pada tingkat SMA. SMA Ma’rif 1 Sumenep yang berlokasi di samping masjid Jamik Sumenep, sampai saat ini berkembang dengan eksis dengan membuka penjurusan IPA dan IPS, dengan jumlah siswa keseluruhan kelas 125 (Data di kantor TU SMA Ma’arif Sumenep, 24 Mei 2007). Walau pun sekolah ini masih jauh kalah dengan SMA 1 Muhammadiyah Sumenep yang telah memiliki siswa lebih dari 600 orang. Di Pamekasan, Sampang dan Bangkalan lembaga milik NU ini terus-menerus mengembangkan diri dengan massif walaupun terkadang, lembaga-lembaga tersebut tidak mencantumkan kaitan resmi dengan LP Ma’arif NU, akan tetapi mereka jelas sekali ke-NU-annya. Universitas Islam Madura, walau ia berada dalam lingkunga pondok Peddet, Pamekasan, akat tetapi perguruan tinggi ini adalah milik NU, oleh karena itu ia masuk dalam lingkunga LP Ma’arif NU tersebut.
Kontribusi dalam pendirian lembaga juga sangat nampak di Taman Sepanjang Sidoarjo. Dengan nama Yayasan Pendidikan Ma’arif (YPM), telah mempunyai lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai pada tingkat perguruan tinggi. Malah lembaga pendidikan yang berada dalam naungan YPM telah ada di berbagai kabupaten Jawa Timur dan luar Jawa, seperti di Lamongan, Tulungagung, Kediri, Madiun, Surabaya, Tuban, Gresik, Nganjuk. Di luar Jawa, lembaga yang berada dalam naungan YPM adalah di Sinjai, Banjarmasin Kalimantan Selatan, Pontianak di Kalimantan Barat.
Di Jember, kontribusi LP Ma’arif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa juga sangat menonjol. Universitas Islam Jember (UIJ). Di Malang, di kota dingin ini sejak tahun 1970-an telah berdiri universitas Islam, yang kemudian universitas ini bernama Universitas Islam Malang. Di Bandung, dengan megah berdiri perguruan tinggi milik NU dengan nama Universitas Islam Bandung (Unisba). Semenatara di Jakarta juga LP Ma’arif tidak ketinggalan mendirikan barbagai sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Perguruan tinggi kepunyaan LP Ma’arif NU di Jakarta adalah Universitas Islam Jakarta (UNISJA) yang juga telah memiliki berbagai fakultas. Baik agama seperti syari’ah, tarbiyah, ushuludin dan adab, juga telah membuka fakultas-fakultas umum, seperti hukum, FKIP, ekonomi, FISIP, teknik dan kedokteran.
2. KONTRIBUSI DALAM PENGEMBANGAN LEMBAGA NON FORMAL
Penulis maksudkan dengan lembaga non formal dalam bahasan ini adalah suatu pengertian yang dapat mencakup pada lembaga pondok pesantren. Inilah yang penulis maksudkan dengan istilah non formal.
Pondok pesantren yang penyebarannya merata di seluruh wilayah nusantara ini merupakan lembaga tertua yang khusus menyebarkan agama Islam. Pendiri tertua adanya pondok pesantren adalah para mubaligh yang biasanya mereka merangkap menjadi saudagar Islam di nusantara ini sejak abad VII, kemudian pendirian pondok pesantren itu diteruskan oleh para wali di tanah Jawa pada abad XIII, dan seterusnya pondok pesantren menjadi landasan institusi NU. Itulah sebenarnya basis daripada NU. Dengan kata lain, NU sejak dari semula berdiri memang tidak dapat dilepaskan dari adanya pondok pesantren.
Dalam pada itu, LP Ma’arif NU sebagai departemen pendidikan dalam organisasi NU, diplot untuk mendirikan sekolah baik yang berbasis agama, atau pun juga yang berbasis umum, dimaksudkan untuk membina lembaga pendidikan yang telah ada, dalam hal ini lembaga-lembaga pendidikan di bawah pondok pesantren di atas.
Di mulai dari ponpes Darul Ulum Jombang, pada tuhun 1923 M telah mamasukkan kurikulum berbasis keduniaan, seperti matematika, fisika, kimia, fisika, ekonomi dan lainnya ke dalam sistem pengajaran yang diterapkan secara klasikal (Bruinessen, 1999: 356). Pemasukan kurikulum bersifat keduniaan di atas adalah merupakan jasa besar KH Wahid Hasyim Asy’ari yang memang sangat menyadari bahwa jika umat ingin maju kembali, sebaiknya pemahaman yang integral atas hakikat ilmu harus dikedepankan. Dalam bahasa yang lain, jika umat masih mendikotomi sebuah ilmu, yaitu bahwa ilmu ada yang Islam dan ada yang non Islam, maka sampai kapan pun umat ini tidak akan mengalami kemajuan.
Peran yang sama dengan pertumbuhan ponpes Darul Ulum juga diterapkan dalam kurikulum LP Ma’arif secara nasional. Maka kontribusi yang sangat nampak atas peran pemikiran KH Wahid Hashem Asy’ari di atas terhadap eksistensi LP Ma’arif tiada lain adalah dimasukkannya sistem pengajaran yang bersifat keduniaan itu dalam setiap sub-sistem pengajaran pondok pesantren di naungan NU di seluruh persada nusantara, setelah LP Ma’arif NU didirikan pada 1938 dan sekaligus KH Wahid Hashem Asy’ari sebagai ketua pertamanya.
Kontribusi LP Ma’arif NU terhadap pondok-pondok pesantren yang berafiliasi kepada NU memang tidak secara langsung dapat penulis ukur secara akurat, sebab kesulitan yang hendak penulis identifikasi adalah pondok-pondok yang secara riil tidak menggabungkan lembaga-lembaga pendidikannya pada LP Ma’arif NU, tetapi mereka –para pengasuh pondok itu- mengaku bagian dari NU dan sistem pendidikannya juga direformasi sesuai dengan kurikulum LP Ma’arif NU, yaitu menitik beratkan kepada paham aswaja sebagai pondasi NU itu sendiri.
Dari yang sedikit atau samar jika ditarik benang merahnya itu, LP Ma’arif masih sangat berkontribusi pada lembaga non formal itu. Kontribusi yang paling utama adalah bersifat pemikiran. Demikian itu diakui oleh DR. KH Thalhah Hasan, seorang tokoh pendidikan di lembaga NU dan sekaligus sebagai pembaharu pendidikan di tubuh NU. LP Ma’arif, dan yang sering nampak kepermukaan adalah pemikiran para tokohnya, dan tidak mengatas namakan institusi tersebut, telah berhasil mencairkan citra negatif ilmu-ilmu hadhari (keduniaan) dan mamasukkannya ke kurikulum pesantren, sehingga saat ini telah sepenuhnya sama anatara kurikulum LP Ma’arif dengan kurikulum pesantren tersebut.
Di samping mempunyai kontribusi terhadap pondok-pondok pesantren yang berada dalam naungan NU, kontribusi yang lainnya juga sangat nampak kelihatan dalam lembaga non formal. Bukti konkritnya adalah pembinaan prestasi pelajar dan santri dalam naungan LP Ma’arif. LP Ma’arif secara konsisten mengadakan pelatihan pembinaan minat dan bakat, seperti pelatihan qiro’ah dan musabaqah tilatil qur’an bekerja sama dengan Jamiah al Qurra’ Wa al Huffadh, mengadakan lomba hadrah bekerja sama dengan Jam’atul Hadrah Indonesia, mengadakan pelatihan pencak silat bekerja sama dengan Pagar Nusa Indonesia. Pelatihan kepemimpinan dan kepemudaan dengan bekerja sama pada GP Ansor. Juga LP Ma’arif selalu membekalkan diri para siswanya dengan menganjurkan ikut kepanduan bekerja sama dengan kwartir nasional. Pada segi kesehatan, para siswa itu juga dianjurkan aktif pada PMR dab PMI. Itu semua segi kontribusi LP Ma’arif dari segi non formal.
Dari paparan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa LP Ma’arif NU mempunyai kontribusi yang amat banyak terhadap pengembangan lembaga pendidikan yang berorientasi pada non formal sebagaimana telah penulis kemukakan di atas, yaitu pada ponpes dan lembaga di bawahnya, juga pembinaan prestasi siswa yang berkaitan dengan minat dan bakat mereka.

BAB III
PENUTUP
A. ANALISIS
Kiprah NU dalam bidang pendidikan sudah berlangsung sejak awal organisasi ini didirikan. Karena, sejarah pergerakan NU sebenarnya adalah sejarah pendidikan nusantara. Melalui lembaga-lembaga pendidikan, seperti pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi, NU merupakan salah satu lokomotif pembaru pendidikan.
Rintisan NU di bidang pendidikan dapat dilihat dalam artikel yang ditulis Didik Supriyanto yang bertajuk Mengenal Pendidikan Nahdlatul Ulama, yang telah dimulai sejak setahun setelah berdirinya organisasi ini, persisnya pada Muktamar ke-2 NU tahun 1927. Dalam muktamar tersebut, para pesertanya mengagendakan penggalangan dana secara nasional untuk mendirikan dan membangun madrasah dan sekolah.
Kemudian, pada Muktamar berikutnya, muncul gerakan peduli pendidikan dan membentuk sebuah organisasi khusus untuk menangani bidang ini. salah satunya adalah Hoof Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO). Pada perkembangan selanjutnya, terbentuklah Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama (LPMNU) pada Muktamar ke-20 NU (1959) di Jakarta. Meski NU tetap menjadikan sektor pendidikan sebagai mainstream (pemikiran utama), baru dalam Munas NU tahun 2002 di Jakarta, organisasi ini mencoba mempertegas kembali posisi bidang pendidikan untuk menjadi prioritas program NU.
Hasil Munas tersebut ditindaklanjuti dengan diselenggarakannya rapat kerja LPMNU dan Musyawarah Kerja Perguruan Tinggi NU. Di forum tersebut, NU kembali mematangkan format, strategi, dan guidelines (garis panduan) pengembangan pendidikan di lingkungan NU.
Dalam struktur organisasi NU. posisi Lembaga Pendidikan Maarif ini adalah perangkat yang bertanggungjawab menangani pelaksanaan kebijakan di bidang pendidikan dan pengajaran. LP Maarif yang memiliki peran strategis secara resmi baru berdiri pada 7 Februari 1961. Tugas utama LP Maarif adalah membina, mendirikan, dan menyelenggarakan sekolah-sekolah ataupun madrasah-madrasah dari tingkat pendidikan prasekolah sampai perguruan tinggi serta pendidikan nonformal, seperti kursus-kursus dan pelatihan keterampilan.
Awalnya, sekolah atau madrasah Maarif berdiri atas inisiatif masyarakat sehingga penanganannya sederhana dan terkesan apa adanya. Namun, seiring perkembangan pendidikan, LP Maarif berusaha menata sekolah yang-sudah-sedemikian banyak, untuk menjadi-lebib baik. Sebagai lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan NU, sekolah Maarif didirikan untuk tujuan syiar Islam. Karena tujuan syiar itulah, kuantitas lebih diutamakan dibandingkan kualitas. Akan tetapi, pada perkembangan berikutnya, sekolah Maarif mengikuti kebutuhan sebagaimana sekolah pada umumnya, yakni mengembangkan potensi pokok yang harus dimiliki oleh sekolah yang bersangkutan.
Dalam rangka merespons modernisasi, madrasah-madrasah Maarif, yang awalnya hanya mengajarkan materi agama sebagaimana di pesantren, berkembang dengan materi keilmuan umum. Kurikulum madrasah kemudian mengikuti kurikulum pemerintah. Di madrasah, terdapat keilmuan umum, seperti bahasa Indonesia, ilmu pengetahuan sosial, kewarganegaraan, dan lain sebagainya.
Sebagai lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat sendiri, madrasah dan sekolah NU memiliki karakter yang khusus, yaitu karakter masyarakat diakui sebagai milik masyarakat dan selalu bersatu dengan masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Guru-guru madrasah adalah juga guru-guru masyarakat yang tingkah lakunya dinilai, diawasi, dan ditiru oleh masyarakat. Madrasah NU juga merupakan pusat kegiatan masyarakat pada beberapa bidang tertentu, khususnya pada bidang keagamaan.
Peran serta masyarakat dalam membesarkan madrasah dan sekolah NU ini menumbuhkan sikap mental yang percaya pada diri sendiri dan tidak menunggu bantuan dari luar. Karena itu, pada zaman penjajahan, NU tegas-tegas menolak bantuan pemerintah jajahan bagi madrasah dan segala bidang kegiatannya terabaikan

B. KESIMPULAN
1. Embrio NU adalah Taswirul Afkar, yaitu sebuah gerakan diskusi yang didirikan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah. Meskipun lahirnya NU lebih banyak dikarenankan oleh unsur politik dimana ketika gerakan puritansme sedang berlangsung di Makkah.
2. Para tokoh NU memandang bahwa untuk menyeimbangkan pemahaman generasi penerus NU terhadap kehidupan ini sangat dibutuhkan penguasaan akan ilmu-ilmu, yang dikatakan sebagian orang dengan sebutan ilmu sekuler. Jika untuk kemaslahatan umat, mengapa ilmu-ilmu itu harus dijauhi. Tentu, jika ilmu-ilmu itu tidak dipelajari maka umat Islam, khususnya generasi NU, semakain jauh tertinggal. Sementara umat-umat yang lain berada di garis depan menguasai berbagai segi kehidupan. Inilah sebenarnya latar belakang NU mendidirikan lembaga yang menaungi bidang pendidikan. Oleh karena itu pada tanggal 11-16 Juni 1938 di Menes, Banten, 12 tahun setelah NU didirikan di Surabaya, sedang berlangsunglah perhelatan akbar NU berupa Mu’tamar ke- 13. Hal penting dari mu’tamar itu adalah didirikannya divisi khusus yang mengurusi masalah pendidikan dan diberi nama lembaga pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif) NU, dengan ketuanya K.H. Abdul Wahid Hasyim.
3. Usaha yang dilakukan oleh NU dalam dunia pendidikan adalah membuat formalitas lembaga dalam bentuk Ma’arif dengan nama LP Ma’arif NU


DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, “NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini”. Prisma, edisi April 1984,
Abdurrahman Wahid, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (Yogyakarta: LKiS, 2000)
Achmad Zubaidi, Landasan Ilmiah dan Landasan Hukum, Pendidikan Kearganegaraan, untuk Perguruan Tinggi, Paradigma, Yogyakarta, 2002)
http://pb-nu.blogspot.com/2010_03_22_archive.html 02 Februari 2012: 12.00 WIB
Abdul Muchith Muzadi, Mengenal Nahdlatul Ulama, cet. IV (Jember: Masjid Sunan Kalijaga2006,
Majalah Aula, edisi Nopember tahun 2001
http://mimiftahululumgumantuk.blogspot.com/2011/05/sejarah-berdirinya-nahdlatul-ulama.html 02 Februari 2012:12.00 WIB
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan NKRI”. (Bandung; Yayasan Wira Patria Mandir,1996)
Martin van Bruinessen, NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru; (Yogyakarta: LKiS, 1994)
Ahmad Mansur Suryanegara, NU Lahir untuk Menjawab Tantangan Politik, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985)
Ensiklopedi Islam III, 2001
KH. Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyyah, cet. III Surabaya: Khalista-LTNU-2005,
Abdul Muchith Muzadi, Mengenal Nahdlatul Ulama, cet. IV Jember: Masjid Sunan Kalijaga2006,
Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3ES,1974)
http://ahmadmuhli.wordpress.com/2010/07/22/kontribusi-lembaga-pendidikan-maarif-nahdhatul-ulama-dalam-membina-lembaga-pendidikan-islam-indonesia-dewasa-ini/ 02 Februari 2012: 13.00
http://www.uim.com.id.
Aula,Edisi Nopember. 2001
http://www.unisja.com.