SELAMAT DATANG Tak ada sebuah perjuangan yang berujung dengan sia-sia بسم الله الرحمن الرحيم

Minggu, 20 Mei 2012

Mengapa Islam Diseru dari Makkah?


Mengapa Islam Diseru dari Makkah?, Kalau Anda ingin menyampaikan pesan ke selu­ruh penjuru, sebaiknya Anda berdiri di tengah, di jalur yang memudahkan pesan itu tersebar. Hindari tempat di mana ada kekuatan yang dapat mengha­langi atau merasa dirugikan. Kemudian pilih pe­nyampai pesan yang simpatik, berwibawa, dan ber­kemampuan sehingga menjadi daya tarik tersendiri. Timur Tengah adalah jalur penghubung Timur dan Barat, maka wajarlah jika ia menjadi tempat me­nyampaikan pesan Ilahi yang terakhir.

Pada masa Nabi Muhammad saw., yaitu abad ke-5 dan ke-6 Masehi, terdapat dua adikuasa. Pertama, Persia yang menyembah api dan ajaran Maz­dak mengenai kebebasan seks yang masih berbekas pada masyarakatnya sehingga permaisuri pun harus menjadi milik bersama.

Kedua, Romawi yang Nasrani yang juga masih dipengaruhi oleh budaya Kaisar Nero yang memperkosa ibunya sendiri dan mem­bakar habis kotanya.

Kedua adikuasa ini bersitegang memperebut­kan wilayah Hijaz di Timur Tengah yang ketika itu belum terkuasai, walau upaya telah dilakukan secara halus oleh Utsman bin Huwairits (seorang antek Romawi), dan dengan kekerasan oleh Abrahah ber­sama pasukan bergajahnya. Dalih serangan Abrahah adalah penghinaan terhadap rumah ibadah yang dibangunnya di Yaman, sedang tujuannya adalah menguasai jalur Hijaz, dari Yaman menuju ke Syam, tapi tangan Tuhan menggagalkannya.

Bayangkanlah apa yang akan terjadi jika tauhid dikumandangkan di daerah kekuasaan Romawi atau Persia yang keyakinannya bertentangan dengan tau­hid. Di Hijaz ketika itu belum terpusat kekuasaan,dan kelompok-kelompok suku saling bermusuhan dan berebut pengaruh. Makkah (pusat Hijaz) adalah tempat para peda­gang dan seniman datang memamerkan dagangan serta karyanya. Di sinilah bertemu kafilah Selatan dan Utara, Timur dan Barat. Penduduk Makkah juga melakukan “perjalanan musim dingin dan musim panas” ke daerah Romawi dan Persia. Ini akan me­mudahkan penyebaran pesan.

Satu faktor lagi yang mendukung Makkah ada­lah bahwa masyarakat Makkah belum banyak disentuh peradaban. Pada saat itu masyarakat Makkah belum mengenal nifaq (bermuka dua), dan mereka keras kepala, serta lidah (ungkapan) mereka tajam (QS 33: 19). Penduduk Makkah juga dikenal sangat kuat pendiriannya meskipun ditekan. Bilal, Ammar bin Yasir, dan banyak contoh lainnya tidak rela mengucapkan kalimat kufur meskipun agama memberikan peluang “berpura-pura” selama hati tetap dalam keadaan beriman (baca QS 16: 106). Memang, kemunafikan baru dikenal di Madinah. Entah bagaimana kesudahan agama Islam jika sejak dini sudah ada pemeluknya yang munafik.

Quraisy, suku yang paling berpengaruh, tinggal di Makkah. Bahasa dan dialeknya sangat indah dan dominan. Suku Quraisy memiliki dua keluarga be­sar, yaitu Hasyim dan Umayyah. Kedua keluarga besar ini walaupun dari satu turunan namun me­miliki banyak perbedaan, baik sebelum maupun sesudah kedatangan Islam. “Keluarga Hasyim terkenal gagah, budiman, dan sangat beragama. Sementara itu keluarga Umayyah adalah politikus yang pandai melakukan tipu daya, pekerja yang ambisius, dan tidak gagah. Hal ini disepakati oleh para sejarahwan, dan tidak ditolak oleh Umayyah meskipun setelah mereka berkuasa,” tulis Al-Aqqad dalam Mathla` Al-Nur.

Nah, dari keluarga siapakah di Makkah ini yang wajar dipilih untuk tugas kenabian? Tentu saja ke­luarga Hasyim. Dan keluarga ini terpilih Nabi Mu­hammad, yang bukan saja karena gagah, simpatik, dan berwibawa, tapi juga karena “budi pekertinya yang luhur”. Inilah alasan pengangkatan yang tercan­tum pada wahyu ketiga yang memerintahkan me­nyampaikan pesan Ilahi (baca QS 68: 4).

Dari uraian di ataa jelaslah bahwa bukan masyarakat Makkah yang paling bejat sehingga Allah mengutus Nabi-Nya dari sana. Pemikiran ini terlalu dangkal, karena masih banyak faktor yang lebih “ilmiah”dan lebih beradab. Namun, berhasilkah tulisan sederhana ini menjelaskan dan meyakinkan pembaca