SELAMAT DATANG Tak ada sebuah perjuangan yang berujung dengan sia-sia بسم الله الرحمن الرحيم

Selasa, 26 Januari 2010

UTANG LUAR NEGERI DAN NEOKOLONIALISME INDONESIA*

Sikap pemerintah terhadap utang luar negeri ternyata belum banyak berubah, anjuran koalisi Anti Utang (KAU) agar pemerintah “menghapuskan utang lama dan menolak utang baru”, cenderung diabaikan oleh pemerintah. Alih-alih meminta penghapusan utang, sekedar mempercepat pelunasan utang kepada IMF pun pemerintah tampak berat hati. Sikap pemerintah yang sangat bersahabat dengan utang luar negeri dan IMF itu jelas sangat bertolak belakang dengan kecenderungan internasional mengenai hal tersebut. Sebagaimana diketahui, secara internasional, kritik terhadap utang luar negeri cenderung semakin meningkat. Kritik tidak hanya muncul sehubungan dengan efektifitasnya, tetapi meluas hingga mencakup sisi kelembagaan, sisi ideologi, serta implikasi sosial dan politiknya.

Pada sisi efektifitasnya, secara internal, utang luar negeri tidak hanya dipandang menjadi penghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi negara-negara Dunia Ketiga. Ia diyakini menjadi pemicu terjadinya kontraksi belanja sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan (Pearson, 1969, Kindleberger dan Herrick 1977). Sedangkan secara eksternal, utang luar negeri diyakini menjadi pemicu meningkatnya ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga pada pasar luar negeri, modal asing, dan pada pembuatan utang luar negeri secara berkesinambungan (payer, 1974, Gelinas, 1998).

Pada sisi kelembagaannya, lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti IMF, Bank Dunia, dan Asian Development Bank (ADB), tidak hanya dipandang telah bersikap tidak transparan dan tidak akuntabel. Keduanya diyakini telah bekerja sebagai kepanjangan tangan negara-negara Dunia Pertama pemegang saham utama mereka, untuk mengintervensi negara-negara penerima pinjaman (Rich, 1999; Stiglitz, 2002; Pincus dan Winetrs, 2004).

Pada sisi ideologinya, utang luar negeri diyakini telah dipakai oleh negara-negara pemberi pinjaman, terutama Amerika, sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia. Dengan dipakainya utang luar negeri sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitaliseme neoliberal, berarti utang luar negeri telah dengan sengaja dipakai oleh negara-negara pemberi pinjaman untuk menguras dunia (Erler, 1989).

Sedangkan pada sisi implikasi sosial dan politiknya, utang luar negeri tidak hanya dipandang sebagai sarana yang sengaja dikembangkan oleh negara-negara pemberi pinjaman untuk mengintervensi negara-negara penerima pinjaman. Secara tidak langsung ia diyakini turut bertanggungjawab terhadap munculnya rezim diktator, kerusakan lingkungan, meningkatkan tekanan migrasi dan perdagangan obat-obat terlarang, serta terhadap terjadinya konflik dan peperangan (Gilpin, 1987; George, 1992; Hanlon, 2000)

Utang dan Imperialisme

Muara dari berbagai kritik tersebut adalah pada munculnya gagasan untuk menelusuri jejak utang luar negeri sebagai sarana imperialisme. Studi pertama yang secara khusus melakukan hal itu adalah yang dilakukan oleh Teresa Hayter. Berangkat dari hasil penelitiannya yang dibiayai Bank Dunia di empat negara Amerika Latin, Columbia, Chile, Brazil, dan eru Hayter kemudian menulis sebuah buku dengan judul “Aid as Imperialism”.

Dalam buku setebal 222 halaman yang terbit pada 1971 tersebut, Hayter secara tegas menyimpulkan bahwa “utang luar negeri pada dasarnya bukanlah transfer sumber daya yang bebas persyaratan”. Menurut Hayter, hal-hal yang dipersyaratkan dalam pemberian utang luar negeri meliputi : (a) pembelian barang dan jasa dari negara pemberi pinjaman; (b) peniadaan kebebasan dalam melakukan kebijakan ekonomi tertentu, misalnya, nasionalisasi perusahaan asing; dan (c) permintaan untuk melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi “yang dikehendaki”, terutama peningkatan peran sektor swasta dan pembatasan campur tangan langsung pemerintah dalam bidang ekonomi.

Berdasarkan ketiga persyaratan tersebut, menurut Hayter. “aid is, in general, available to those countries whose internal political arrangements, foreign policy alignments, treatment of foreign private investment, debt-servicing record, export politicies, and so on, are considered desirable, potentialli desirable, or at least accpetable, by countries or institution providing aid, and which do not appear to threaten their interest”.

Selanjutnya, ketika berbicara mengenai IMF, Bank Dunia (dan USAID), Hayter secara jelas menyatakana bahwa sudut pandang ketiga lembaga itu dalam menetapkan syarat pemberian pinjaman cenderung seragam. Fokus kebijakan ketiganya, terutama IMF dan Bank Dunia, senantiasa mengarah pada pengendalian inflasi serta perintah untuk memotong investasi publik dan belanja kesejahteraan. Menurut Hayter, faktor utama di balik kecenderungan tersebut adalah posisi dominan Amerika pada ketiga lembaga itu. Implikasinya, walaupun tidak dinyatakan secara terbuka, dalam memberikan pinjaman, ketiganya tidak hanya mengevaluasi proyek yang akan mereka biayai, tetapi juga negara yang akan menerima pinjaman tersebut.

Kesimpulan Hayter itu belakangan dipertegas oleh Hudson. Menurut Hudson (2003), tujuan pemberian pinjaman oleh Amerika sejak 1960 memang tidak dimaksudkan untuk membantu negara-negara penerima pinjaman, melainkan untuk meringankan tekanan terhadap neraca pembayaran negara tersebut. Kebijakan itu erat kaitannya dengan upaya pemerintah Amerika untuk mensubsidi peningkatan ekspor berbagai barang dan jasa mereka ke seluruh penjuru dunia.

Dalam rangka itu, sebagaimana diakui Perkins (2004), Amerika tidak hanya bekerja melalui mekanisme hubungan ekonomi-politik biasa. Amerika secara terstruktur mengembangkan sebuah porfesi yang dikenal sebagai preman ekonomi (economic hit man), yang bernaung di bawah Badan keamanan Nasional (NSA) Amerika, yang secara khusus bertugas untuk membangkrutkan negara-negara Dunia Ketiga.

Tiga catatan penting yang perlu diangkat ke permukaan mengenai keberadaan para preman ekonomi ini adalah sebagai berikut. Pertama, preman ekonomi bekerja di bawah kordinasi Badan Keamanan Nasional (The National Security Agency). Walau pun secara resmi para ekonomi penjajah direkrut, dilatih, dan bekerja di bawah koordinasi NSA, tetapi secara eporasional mereka dipekerjakan secara terselubung melalui perusahaan-perusahaan swasta Amerika Perkins antara lain menyebut perusahaan-perusahaan seperti Monsanto, General Electric, Nike, general Motors, dan Wal-Mart, sebagai beberapa contoh.

Kedua, misi para preman ekonomi adalah memperoleh komitmen para pejabat negara-negara Dunia Ketiga untuk berbelanja secara kredit ke Amerika. Dalam menjalankan misinya, seorang preman ekonomi diperkenankan melakukan apa pun, termasuk melakukan cara-cara ilegal. Target mereka adalah mendorong para pejabat negara-negara Dunia Ketiga untuk berutang sebanyak-banyaknya, sehingga negara mereka tidak mampu membayarnya.

Ketiga, kegagalan para preman ekonomi bukanlah akhir dari upaya pemerintah Amerika dalam mewujudkan dominasinya. Dua hal dapat terjadi menyusul kegagalan tersebut. Pertama, berlangsungnya operasi CIA, yaitu yang ditandainya oleh terjadinya berbagai peristiwa yang mengarah pada penggulingan atau pembinasaan seorang pejabat negara Dunia Ketiga. Kedua, penaklukan negara-negara Dunia Ketiga yang besangkutan melalui operasi militer.

Asal Mula Utang Indonesia

Sebagai sebuah negara yang terpuruk di bawah himpitan utang luar negeri sebesar 78 milyar dollar AS, dengan beban angsuran pokok dan bunga utang (dalam dan luar negeri) mencapai sepertiga APBN, Indonesia tentu patut dicatat sebagai sebuah negara Dunia Ketiga yang terperosok ke dalam kolonialisme utang. Sehubungan dengan itu, catatan perjalanan utang luar negeri Indonesia sebagaimana berikut menarik untuk dicermati.

Masalah utang luar negeri bukanlah masalah baru bagi Indonesia. walaupun masalah ini baru terasa menjadi masalah serius sejak terjadinya transfer negatif bersih (net negatif transfer) pada tahun anggaran 1984/1985, masalah utang luar negeri sudah hadir di Indonesia sejak tahun-tahun pertama setelah kemerdekaan. Sebagaimana diketahui, kemerdekaan Indonesia baru diakui oleh masyarakat internasional ada Desember 1949. Walau pun demikian, berbagai persiapan untuk memperoleh utang luar negeri telah berlangsung sejak 1947. Bahkan, pada tingkat wacana, perbincangan mengenai arti penting utang luar negeri bagi peningkatan kesejahteraan rakyat telah berlangsung sejak November 1945.

Dengan latar belakang seperti itu, mudah dimengerti bila segera setelah pengakuan kedaulatan, utang luar negeri segera hadir dalam catatan keuangan pemerintah. Walau pun demikian, tidak berarti kehadirannya sama sekali bebas dari kontroversi. Sebagai negara bekas jajahan, para Bapak Pendiri Bangsa memiliki komitmen untuk mengembangkan sebuah ekonomi nasional yang berbeda dari ekonomi kolonial. Sebagaimana didefinisikan Soekarno, yang dimaksud dengan ekonomi kolonial adalah sebuah perekonomian yang memiliki tiga ciri sebagai berikut : merupakan sumber bahan baku bagi negara-negara industri, merupakan pasar bagi barang-barang hasil industri mereka, dan merupakan tempat berinvestasi bagi modal negara-negara industri tersebut (Weinstein, 1976:213)

Komitmen untuk membangun ekonomi nasional yang berbeda dari ekonomi kolonial itu antara lain terungkap pada kuatnya hasrat para Bapak Pendiri Bangsa untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam penguasaan faktor-faktor produksi di tanah air. Sebab itu, jika dilihat dari sudut utang luar negeri, sikap para Bapak Pendiri Bangsa cenderung mendua. Di satu sisi mereka memandang utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan yang sangat dibutuhkan untuk mempercepat proses peningkatan kesejahteraan rakyat. Tetapi, disisi lain, mewaspadai penggunaan utang luar negeri sebagai sarana untuk menciderai kedaulatan Indonesia, mereka cenderung menetapkan syarat yang cukup ketat dalam membuat utang luar negeri.

Sikap waspada para Bapak Pendiri Bangsa terhadap bahaya utang luar negeri itu antara lain terungkap pada syarat pembuatan utang luar negeri sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Hatta berikut : Pertama, negara pemberi pinjaman tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri negara yang meminjam. Kedua, suku bunganya tidak boleh lebih dari 3-3, 5 persen setahun. Ketiga, jangka waktu utang luar negeri harus cukup lama. Untuk keperluan industri berkisar 10-20 tahun. Sedangkan untuk pembangunan infrastruktur, harus lebih lama dari itu (Hatta, 1970, dalam Swasono dan Ridjal, 1992-201).

Sikap waspada Soekarno-Hatta terhadap utang luar negeri itu ternyata tidak mengada-ada. Setidak-tidaknya terdapat tiga peristiwa penting yang membuktikan bahwa utang luar negeri memang cenderung dipakai oleh negara-negara pemberi pinjaman sebagai sarana untuk menciderai kedaulatan Indonesia. peristiwa pertama terjadi tahun 1950. Menyusul kesediannya untuk memberikan pinjaman sebesar US$ 100 juta, pemerintah Amerika kemudian menekan Indonesia untuk mengakui keberadaan pemerintah Bao Dai di Vietnam. Karena tuntutan tersebut tidak segara dipenuhi oleh Indonesia, pemberian pinjaman itu akhirnya ditunda pencairannya oleh Amerika (Weinstein. 1976: 210)

Peristiwa kedua terjadi tahun 1952. Setelah menyatakan komitmennya untuk memberikan pinjaman, Amerika kemudian mengajukan tuntutan kepada PBB untuk mengembargo pengiriman bahan-bahan mentah strategis seperti karet, ke Cina. Sebagai negara produsen karet dan anggota PBB, permintaan itu terpaksa dipenuhi Indonesia.

Peristiwa yang paling dramatis terjadi tahun 1964. Menyusul keterlibatan Inggris dalam konfrontasi dengan Malaysia, pemerintah Indonesia menanggapi hal itu dengan menasionalisasikan perusahaan-perusahaan Inggris. Mengetahui hal itu, pemerintah Amerika tidak bisa menahan diri. Setelah sebelumnya mencoba menekan Indonesia untuk mengaitkan pencairan pinjaman dengan pelaksanaan program stabilitasi IMF, Amerika kemudian mengaitkan pencairan pinjaman berikutnya dengan tuntutan agar Indonesia segera mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia.

Campur tangan Amerika tersebut, di tengah-tengah maraknya demontrasi menentang pelaksanaan program stabilisasi IMF di tanah air, ditanggapi Soekarno dengan mengecam utang luar negeri dan Amerika. Ungkapan “go to hell with your aid” yang terkenal itu adalah bagian dari ungkapan kemarahan Soekarno kepada Amerika. Puncaknya, tahun 1965, Soekarno memutuskan untuk menasionalisasikan beberapa perusahaan Amerika yang beroperasi di Indonesia.

Perlawanannya yang sangat keras itu ternyata harus dibayar mahal oleh Soekarno. Menyusul memuncaknya krisis ekonomi-politik nasional pada pertengahan 1960-an, yaitu yang ditandai oleh terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap 6 jenderal pada 30 September 1965, tepat tanggal 11 Maret 1966 Soekarno secara sistematis mendapat tekanan untuk menyerahkan kekuasaannya kepada Soeharto. Sebagaimana diketahui, selain menandai beakhirnya era Soekarno, peristiwa dramatis itu sekaligus menandai naiknya Soeharto sebagai penguasa baru di Indonesia.

Neokolonialisme Indonesia

Dengan naiknya Soeharto sebagai penguasa baru di Indonesia, sikap pemerintah Indonesia terhadap utang luar negeri berubah secara drastis. Hal itu tidak hanya tampak pada strategi pembangunan yang dijalankannya, atau pada jumlah utang baru yang dibuatnya, tetapi terutama tampak secara mencolok pada berbagai tindakan yang dilakukannya dalam memulihkan kondisi ekonomi Indonesia.

Beberapa tindakan yang dilakukan Soeharto dalam memulihkan kondisi ekonomi Indonesia adalah sebagai berikut : Pertama, memperbaiki hubungan dengan para kreditor terutama negara-negara blok barat dan lembaga-lembaga keuangan multilateral. Tujuannya adalah untuk memperoleh utang luar negeri baru dan meminta penjadualan kembali pembayaran utang luar negeri yang diwariskan Soekarno. Hasil yang diperolehnya secara singkat adalah sebagai berikut.

Menyusul pertemuan negara-negara kreditor blok barat di Tokyo pada September 1966, yang dikenal sebagai The Paris Club, bulan Oktober 1966 Indonesia memperoleh komitmen untuk menerima pinjaman siaga sebesar 174.juta dollar AS. Selanjutnya, menyusul pertemuan serupa di Paris pada Desember 1966, Indonesia memperoleh komitmen untuk menerima tambahan pinjaman siaga sebesar 375 juta dollar AS.

Setelah itu, menyusul pertemuan Kelompok Paris di Amsterdam pada Februari 1967, yang sekaligus menandai lahirnya Inter-Govermental Group on Indonesia (IGGI), Indonesia kembali memperoleh komitmen pinjaman siaga sebesar 95,5 juta dollar AS (Palmer, 1978: 28). Adapun penjadualan kembali pembayaran utang luar negeri Indonesia, dengan negara-negara blok barat, baru disepakati tahun 1970. Sedangkan dengan negara-negara blok timur disepakati tahun 1971 dan 1972.

Pendaftaran kembali keanggotaan Indonesia pada lembaga-lembaga keuangan multilateral, berlangsung secara bertahap pada tahun 1967. Pendaftaran kembali ke IMF berlangsung bulan Februari 1967. Pendaftaran kembali ke Bank Dunia berlangsung bulan Mei 1967. Sedangkan pendaftaran keanggotaan Indonesia di ADB berlangsung bersamaan dengan pendirian lembaga tersebut tahun 1968. Menarik untuk dicatat, walaupun pendaftaran kembali keanggotaan Indonesia di IMF baru ditandangani pada Februari 1967, bulan Juni 1966 IMF sudah mengirim misinya ke Jakarta ( Palmer, 1978: 29).

Kedua, melanjutkan pelaksanaan program stabilisasi IMF serta mengeluarkan kebijakan ekonomi yang lebih bersahabat dengan sektor swasta dan investasi asing. Sebagaimana diketahui, sesuai dengan persyaratan utang luar negeri yang diminta Amerika, pelaksanaan program stabilisasi IMF ini telah berlangsung sejak 1963. Tetapi menyusul terjadinya tragedi 30 September 1965, pelaksanaan program tersebut terpaksa dihentikan. Dalam era Soeharto dengan dikeluarkannya paket kebijakan 3 Oktober 1966, pelaksanaan program stabilisasi IMF itu dilanjutkan kembali.

Sesuai dengan permintaan IMF, hal yang harus dilakukan Indonesia untuk meningkatkan stabilitas ekonomi dalam garis besarnya meliputi : penyusunan anggaran berimbang, pelaksanaan kebijakan uang ketat, penghapusan subsidi dan peningkatan harga komoditas layanan publik, peningkatan peranan pasar, penyederhanaan prosedur ekspor, dan peningkatan pengumpulan pajak (Weinstein, 1976: 229).

Sehubungan dengan kebijakan untuk lebih bersahabat dengan sektor swasta dan investasi asing, tepat bulan Januari 1967, pemerintah Soeharto menerbitkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No. 1/1967. UU PMA yang baru ini lebih liberal dari pada UU yang digantikannya. Bersamaan dengan itu, perusahaan-perusahaan asing yang dinasionalisasikan Soekarno pada tahun 1963-1965, diundang kembali untuk mlanjutkan kegiatan mereka di Indonesia.

Dengan berlangsungnya pembalikan orientasi ekonomi Indonesia, yaitu dari yang berorientasi pada peningkatan kemandirian ekonomi menuju peningkatan ketergantungan, rasanya tidak berlebihan bila peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto diwaspadai sebagai proses sistematis berlangsungnya transisi kolonialisme di Indonesia. artinya, setelah merdeka dari kolonialisme Belanda pembuatan utang luar negeri secara besar-besaran dalam era pemerintahan Soeharto, patut diwaspadai sebagai proses sistematis penjerumusan Indonesia ke dalam perangkap neokolonialisme Amerika.

Penghapusan Utang

Dengan latar belakang seperti itu, tentu tidak berlebihan pula bila salah satu tindakan yang perlu dipertimbangkan untuk memerdekakan Indonesia dan kolonialisme utang adalah dengan memperjuangkan penghapusan utang. Tanpa penghapusan utang, Indonesia tidak hanya akan sulit membebaskan diri dari himpitan beban utang, tetapi cenderung akan semakin jauh terperosok ke dalam kolonialisme utang.

Sehubungan dengan itu, konsep utang najis (odious debt) sebagaimana diperkenalkan Alexander Nahum Sack berikut menarik untuk disimak. Menurut Sack (sebagaimana dikutip dalam Adams, 1991), “if a despotic incurs a debt not for the needs or in the interest of the State, but to strengthen its despotic regime, to repress the population that’s fights againts it, etc., this debt is odious for the population of all the State This debt is not an obligation for the nation; it is a regime’s debt, a personal debt of the power that has incurred it, consequently it falls with the fall of this power.”

Konsep utang najis yang diperkenalkan Sack pada tahun 1927 itu dibangunnya berdasarkan preseden sengketa utang-piutang antar negara yang pernah terjadi sebelumnya. Negara pertama yang menerapkan konsep utang najis itu adalah Amerika, yaitu ketika negara tersebut mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat Cuba dari penjajahan pemerintah Spanyol pada tahun 1898. Menyusul beralihnya penguasaan Cuba dari Spanyol ke Amerika, pemerintah Spanyol segera mendeklarasikan bergesernya tanggunggjawab untuk melunasi utang luar negeri Cuba yang dibuat di masa pemerintahannya itu kepada Amerika.

Tetapi Amerika secara tegas menoiak penggeseran tanggungjawab untuk melunasi “utang-utang Cuba” tersebut. Dalam jawabannya kepada pemerintah Spanyol, Amerika antara lain mengatakan, “They are debts created by the government of Spain, for its own purposes and through its own agents, in whose creation Cuban had no voice.” Sebab itu, menurut Amerika, utang-utang tersebut tidak dapat diperlakukan sebagai utang penduduk Cuba, (dengan demikian) juga tidak bersifat mengikat bagi pemerintah Cuba berikutnya.

Berdasarkan konsep utang najis sebagaimana dikemukakan Sack itu, dapat disaksikan bahwa setiap pemerintahan Indonesia pasca Soeharto memiliki peluang untuk memerdekakan Indonesia dari neokolonialisme utang. Artinya, upaya pengurangan beban utang luar negeri Indonesia tidak hanya perlu dilakukan karena jumlahnya yang terlanjur sangat besar, tetapi terutama karena terdapatnya unsur utang najis dalam jumlah keseluruhan utang itu.

Dua alasan yang dapat digunakan sebagai titik tolak untuk meminta penghapusan utang dengan menggunakan konsep utang najis tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, buruknya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan utang luar negeri dalam era Soeharto. Sudah menjadi rahasia umum, pemerintahan Soeharto adalah sebuah pemerintahan korup. Kecenderungan untuk berlaku korup itu bahkan masih berlanjut hingga saat ini. Dalam perkiraan Bank Dunia, volume korupsi proyek-proyek yang dibiayai dengan utang luar negeri di Indonesia rata-rata mencapai sekitar 30 persen (World Bank, 1997).

Kedua, para kreditor wajib bertanggungjawab atas kelalaian mereka dalam memberikan utang. Hal ini terutama karena cukup kuatnya dugaan keterlibatan para kreditor pada berbagai skandal korupsi proyek-proyek utang itu. Sebagaimana diketahui, sekitar 80 persen utang luar negeri Indonesia diterima dalam bentuk fasilitas berbelanja secara kredit. Daiam rangka mengegolkan proyek-proyek tersebut, para pengusaha negara-negara kreditor tidak segan-segan menyuap para pejabat Indonesia. Selanjutnya, tanpa mempertimbangkan manfaat sebuah proyek bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia, para kreditor begitu saja menyetujui pembiayaan proyek-proyek tersebut dengan mengucurkan utang luar negeri.

Beberapa negara yang telah melakukan penghapusan utang adalah Brazil, Mexico, Argentina, Pakistan, dan Nigeria. Masing-masing negara tentu mengemukakan alasan yang barbeda-beda ketika mengajukan tuntutan penghapusan utang mereka. Tetapi kata kuncinya terletak pada adanya kemauan politik masing-masing pemerintah untuk tidak menggeser beban utang kepada rakyatnya masing-masing. Menggeser beban utang kepada rakyat banyak tidak hanya dapat dimaknai sebagai proses sistematis untuk menggeser dampak korupsi, tetapi dapat pula dimaknai sebagai proses sistematis untuk menyerahkan tenggorokkan rakyat kepada para penguasa dan pengusaha mancanegara.

Dilihat dari sudut Indonesia, kendala utama yang dihadapi negeri ini dalam menuntut penghapusan utang terletak pada sangat dominannya pengaruh para ekonom neoliberal dalam penyelenggaraan ekonomi Indonesia. Bagi para pemuja IMF tersebut, penderitaan rakyat di bawah himpitan beban utang cenderung tidak memiliki makna apa-apa. Sebab itu, alih-alih memperjuangkan penghapusan utang, mereka lebih suka menambah beban utang dengan membuat utang baru. Anehnya, setiap rezim yang berkuasa di Indonesia, tampak seperti tidak memiliki pilihan lain selain bekerjasama dengan kaki tangan para kreditor tersebut. Jangan-jangan selama 60 tahun ini kolonialisme memang hanya berganti gaya, tetapi secara substansial masih terus berlanjut di Indonesia?